A.Pendahuluan
Selama ini masih banyak orang yang menganggap bahwa matematika tidaklah lebih dari sekedar berhitung dan bermain dengan rumus dan angka-angka. Melalui suatu angket yang dilaksanakan oleh Hendra Gunawan (Pikiran Rakyat, 1998, yang dimuat dalam www.geocities.com/ratuilma/linkframeset_indo.htm1 ), ditanyakan kepada sejumlah mahasiswa baru yang pada waktu itu baru saja diterima di Perguruan Tinggi terkemuka di negara kita, “Menurut Anda, matematika itu apa ? “ Jawaban yang diperoleh hampir seragam, yaitu matematika adalah ilmu hitung-menghitung yang senantiasa berurusan dengan rumus dan angka-angka.
Selama ini kita mungkin menerima begitu saja pengajaran matematika di sekolah, tanpa mempertanyakan mengapa atau untuk apa matematika harus diajarkan. Tidak jarang muncul keluhan bahwa matematika cuma bikin pusing siswa (dan juga orang tuanya) dan dianggap sebagai momok yang menakutkan oleh sebagian siswa. Begitu beratnya gelar yang disandang matematika yang membuat kekawatiran pada prestasi belajar matematika siswa. Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi rasa bosan pada matematika adalah faktor penyampaian materi atau metode pembelajaran matematika yang monoton dan itu-itu saja.
Matematika adalah ilmu yang berkembang sejak ribuan tahun lalu dan masih tumbuh subur hingga kini. Tidak mungkin bisa semuanya diajarkan kepada siswa di sekolah. Jadi, seharusnya bukan materi yang kita kejar, tetapi tujuannya. Penting untuk diingat oleh penyusun kurikulum matematika, juga guru di lapangan, agar materi tidak terlalu padat, sehingga siswa punya waktu cukup untuk mengendapkan apa yang telah diperoleh dan mengembangkan kemampuan berpikir secara optimal.
Pada dasarnya, matematika adalah pemecahan masalah karena itu, matematika sebaik -nya diajarkan melalui berbagai masalah yang ada disekitar siswa dengan memperhatikan usia dan pengalaman yang mungkin dimiliki siswa.
Berdasarkan tujuan/keinginan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap matematika dan meminimalkan anggapan-anggapan negatif terhadap matematika yang membuat para ahli pendidikan matematika di Indonesia berupaya mencari terobosan baru menemukan metode pembelajaran matematika lain dengan mengacu pada pengalaman di negara lain dan dengan melihat karakteristik yang dimungkinkan dapat diujicobakan juga di Indonesia.
Ada 3 pendekatan yang cukup mendasar, yaitu “pemecahan masalah” atau “problem solving” yang mendapat keutamaan di Jepang, “contextual teaching and learning” ataupun “connected mathematics” yang mulai dilaksanakan di sebagian Amerika dan “Realistic Mathematics Education” yang sudah melalui proses ujicoba dan penelitian lebih dari 25 tahun di Belanda.(R.Soedjadi,2001).
B. Realistic Mathematics Education
Salah satu faktor penyebab rendahnya pengertian siswa terhadap konsep-konsep mate -matika adalah pola pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Pembelajaran matematika di Indonesia dewasa ini, “dunia nyata” hanya digunakan untuk mengaplikasikan konsep dan kurang mematematisasi “dunia nyata”. Bila dalam pembelajaran di kelas, pengalaman anak sehari-hari dijadikan inspirasi penemuan dan pengkonstruksian konsep (pematematisasian pengalaman sehari-hari) dan mengaplikasikan kembali ke “dunia nyata” maka anak akan mengerti konsep dan dapat melihat manfaat matematika. (I Gusti Putu Suharta, 2001).http://s1pgsd.blogspot.com/
Realistic Mathematics Education adalah suatu teori dalam pendidikan matematika yang berdasarkan pada ide bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan matematika harus dihubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari-hari siswa sebagai suatu sumber pengembangan dan sebagai area aplikasi melalui proses matematisasi baik horizontal maupun vertikal. (www.geocities.com/Athens/crete).
Teori Realistic Mathematics Education pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda sejak 31 tahun lalu (sejak tahun 1970) oleh Institut Freudenthal dan menunjuk -kan hasil yang baik, berdasarkan hasil The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2000. (Ahmad Fauzan, 2001).
Menurut Freudenthal (Ahmad Fauzan, 2001), aktivitas pokok yang dilakukan dalam Realistic Mathematics Education meliputi : menemukan masalah-masalah/ soal-soal kontekstual (looking for problems), memecahkan masalah (solving problems), dan mengorganisir bahan ajar (organizing a subject matter). Hal ini dapat berupa realitas-realitas yang perlu diorganisir secara matematis dan juga ide-ide matematika yang perlu diorganisir dalam konteks yang lebih luas. Kegiatan pengorganisasian seperti ini disebut matematisasi.
Dalam Realistic Mathematics Education, siswa belajar mematematisasi masalah-masalah kontekstual. Dengan kata lain, siswa mengidentifikasi bahwa soal kontekstual harus ditransfer ke dalam soal bentuk matematika untuk lebih dipahami lebih lanjut, melalui penskemaan, perumusan dan pemvisualisasian. Hal tersebut merupakan proses matematisasi horizontal. Sedangkan matematisasi vertikal, siswa menyelesaikan bentuk matematika dari soal kontekstual dengan menggunakan konsep, operasi dan prosedur matematika yang berlaku dan dipahami siswa.(Dian Armanto, 2001).
Sehingga dalam matematisasi horizontal berangkat dari dunia nyata masuk ke dunia symbol sedangkan matematisasi vertikal berarti proses/pelaksanaan dalam dunia symbol. (www.geocities.com/ratuilma/rme).
C. Karakteristik Realistic Mathematics Education dan Bagaimana Memulai Pelajaran RME.
Realistic Mathematics Education mempunyai lima karakteristik (www.geocities.com/ Athens/crete), yaitu :
1. menggunakan konteks yang real terhadap siswa sebagai titik awal untuk belajar.
2. menggunakan model sebagai suatu jembatan antara real dan abstrak yang membantu siswa belajar matematika pada level abstraksi yang berbeda.
3. menggunakan produksi siswa sendiri atau strategi sebagai hasil dari mereka “ doing mathematics”.
4. interaksi adalah penting untuk belajar matematika antara guru dan siswa, siswa dan siswa.
5. keterkaitan antara unit-unit matematika dan masalah-masalah yang ada dalam dunia ini.
Dalam RME, mengambil sesuatu dari dunia nyata, mematematisasinya dan merefleksi -kan, kemudian membawanya kembali ke dunia nyata, yang oleh De Lange (1987) disebut sebagai matematisasi konseptual dan aplikasi digambarkan dalam skema berikut :
Dunia Nyata
Matematisasi Matematisasi dan
dalam Aplikasi Refleksi
Abstraksi dan Formalisasi
Menurut Zulkardi (www.geocities.com) ide berikut ini dapat digunakan bila memulai pelajaran menggunakan metode realistik :
1. Materi RME lebih dari sekedar menghitung yaitu membangun kemampuan berpikir dan berargumentasi yang dapat dipakai oleh siswa selamanya. Materi yang dipakai berbeda dengan materi lama.
2. Kebanyakan soal dapat diselesaikan lebih dari satu strategi atau solusi. Tujuannya adalah untuk mendiskusikan perbedaan strategi memutuskan mana yang terbaik untuk soal itu. Dalam contoh guru akan menanya siswa tertentu untuk menjelaskan idenya dan di lain waktu siswa tertentu akan diminta mendengarkan dan menganalisa jawaban temannya.
3. Siswa bisa bekerja sendiri atau berdua atau dalam grup kecil untuk mendapat kesempatan banyak menjelaskan pikiran dan pengertiannya.
Suksesnya implementasi materi RME tergantung pada kemampuan guru untuk membuat suatu iklim di mana siswa mau mencoba berpikir dengan cara baru dan mengkomunikasi -kan apa yang dihasilkannya. Jika guru menghargai perbedaan jawaban siswa, maka siswa akan respek untuk mencoba idenya. Untuk memberi semangat atau motivasi di antara siswa, perlu juga menggunakan perkataan seperti :
Dengar penjelasan temanmu, atau, Bagaimana hal ini berbeda dengan jawabanmu ?
Jika mereka kesulitan di grupnya, maka diskusi kelas akan membantu. Terutama hal evaluasi strategi mana yang paling cocok untuk suatu masalah. (www.geocities.com/Athens/crete)
D. Pelaksanaan RME di Indonesia
Memperhatikan keberhasilan Belanda dan negara-negara lain dalam pendidikan matematika dengan menggunakan pendekatan realistic (RME), maka ditempuh langkah awal dengan mengembangkan pilot proyek implementasi pembelajaran matematika realistic di Bandung, Yogyakarta dan Surabaya.
Beberapa ahli pendidikan matematika di Indonesia telah sepakat menggunakan nama PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) untuk pendekatan baru yang sedang diujicobakan.
Berikut ini diberikan hasil pelaksanaan uji coba PMRI yang dilaksanakan di Yogyakarta yaitu SD Kanisius Demangan Baru dan MIN Yogyakarta II (berdasarkan hasil workshop pengembangan pembelajaran matematika secara realistik tanggal 4 – 11 Juli 2001 di P3G Matematika di Yogyakarta, yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik pada tanggal 14-15 November 2001) :
1. Proses belajar mengajar :
a. Siswa belajar secara individual (atau berkelompok) dengan menyelesaikan masalah-masalah yang sudah disiapkan guru dalam kelas.
b. Beberapa siswa disuruh maju ke depan kelas menjelaskan bagaimana dia menyelesaikan suatu soal dengan caranya sendiri/meragakannya dengan menggunakan alat peraga yang telah disiapkan.
c. Guru memotivasi siswa menemukan sendiri cara mereka dan berani mengemukakan caranya itu kepada teman dalam kelompok atau di depan kelas.
2. Keunggulan yang diperoleh dari pengalaman kedua sekolah tersebut selama melakukan uji coba terbatas dapat disarikan sebagai berikut :
1. Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan realitas yang ada disekitar siswa.
2. Karena siswa membangun sendiri pengetahuannya maka siswa tidak mudah lupa dengan materi.
3. Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban ada nilainya.
4. Melatih siswa untuk terbiasa berpikir dan berani mengemukakan pendapat.
5. Pendidikan budi pekerti, misal : saling kerjasama dan menghormati teman yang sedang berbicara.
3. Kelemahan :
a. karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih kesulitan dalam menemukan sendiri jawabannya.
b. untuk memahami satu materi pelajaran dibutuhkan waktu yang cukup lama.
c. membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu.
d. belum ada pedoman penilaian , sehingga guru merasa kesulitan dalam evaluasi/memberikan nilai.
E. Penutup
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian berkaitan dengan pengalaman yang diperoleh dari hasil pelaksanaan ujicoba pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik di Yogyakarta (Sutarto Hadi, 2001) :
1. Materi kurikulum PMRI.
Diperlukan materi kurikulum dengan konteks Indonesia. Mengembangkan sendiri materi kurikulum PMRI dengan konteks Indonesia akan memakan waktu yang panjang karena harus melalui rangkaian :
a. olah pikir (pengembang mendesain materi PMR yang relevan dengan kurikulum yang berlaku)
2. ujicoba dengan kelompok kecil siswa (oleh pengembang sendiri).
3. revisi berdasarkan hasil uji coba skala kecil.
4. uji coba oleh guru di kelas; dan
5. revisi berdasarkan hasil uji coba di kelas.
Berkaitan dengan pengembangan materi kurikulum PMR beberapa hal berikut perlu mendapat perhatian :
1. konteks yang dipilih harus dikenal baik oleh siswa
2. bahasa yang digunakan harus sederhana dan jelas
3. gambar harus mendukung konsep
Apabila upaya mengembangkan sendiri materi tidak memungkinkan dalam waktu singkat, dapat dilakukan adaptasi terhadap materi PMR yang sudah ada. Namun ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian :
1. tidak setiap konteks dapat langsung diadopsi.
2. Apabila konteks yang ingin diadaptasi dirasa cukup dikenal, selanjutnya adalah penerjemahan soal yang menyertai konteks tersebut.
3. Sedapat mungkin konteks dapat menjelaskan pesan yang ingin disampaikan tanpa penjelasan lisan.
4. Gambar dapat mempengaruhi siswa
2. Persepsi Guru tentang PMRI.
Persepsi yang akan diuraikan ini adalah persepsi guru selama pelatihan PMR :
a. Sebagian besar guru matematika mempunyai tanggapan yang positif, PMR dirasakan sebagai sesuatu yang dibutuhkan.
2. Guru dapat melihat proses belajar dan berpikir matematika dalam menemukan konsep yang dipelajari siswa.
3. PMR memberikan harapan kepada guru dalam menghadapi persoalan berkaitan dengan manfaat belajar matematika.
4. Kehadiran PMR dirasakan oleh guru dapat mengubah pendekatan yang kering dan mekanistik menjadi lebih menyenangkan dan bermakna baik bagi guru maupun para siswa.
5. Bagi sebagian guru kehadiran PMR ditanggapan dengan kekawatiran.
6. Guru merasa lebih aman jika PMR diterapkan hanya untuk topik-topik tertentu dan diberikan sebagai selingan dari materi dan metode yang sudah biasa diterapkan oleh guru selama ini.
7. Bagi guru PMR tidak akan berhasil apabila sistem penilaian masih menggunakan sistem EBTANAS.
3. Reaksi Siswa terhadap PMR.
Adanya perubahan reaksi siswa karena perubahan orientasi pendidikan dari “teacher- centered learning” ke “pupil-centered learning”, yaitu :
a. Bagi sebagian siswa, PMR tidak mudah dan menjadikan frustasi, karena siswa terbiasa selalu menerima penjelasan dari guru dan tidak terbiasa untuk berpikir kreatif dan mempelajari sendiri atau menemukan sendiri konsep yang dipelajari.
2. Perubahan yang sangat ekstrim yang ditanggapi siswa ada dua kategori yaitu lebih menuntut (cenderung negatif) yang dimaknai sebagai memaksa siswa untuk berpikir dan bekerja matematika yang lebih keras dan memeras energi, dan lebih menantang (cenderung positif) yang dimaknai sebagai membangkitkan motivasi siswa untuk belajar sehingga tidak bosan.
Daftar Pustaka
Armanto, Dian. 2001. “Alur Pembelajaran Perkalian dan Pembagian Dua Angka dalam Pendidikan Matematika Realistik (PMR).”, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14- 15 November 2001.
Fauzan, Ahmad. 2001. “ Pendidikan Matematika Realistik: Suatu Tantangan dan Harapan.” , disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14- 15 November 2001.
Hadi, Sutarto. 2001. ‘PMRI : Beberapa Catatan Sebelum Melangkah Lebih Jauh.”, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14 – 15 November 2001.
Maier, Herman. 1985. Kompendium Didaktik Matematika. Bandung : CV Remadja Karya.
Marpaung, Y. 2001. Pendekatan Realistik dan Sani dalam Pembelajaran Matematika, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14 – 15 November 2001.
Ratini, dkk. 2001. Pengalaman dalam Melaksanakan Uji Coba Pembelajaran Matematika secara Realistik di MIN Yogyakarta II, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14 – 15 November 2001.
Soedjadi, R. 2001. Pembelajaran Matematika Berjiwa RME, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14 – 15 November 2001.
Suharta, I Gusti Putu. 2001. “Penerapan Pembelajaran Matematika Realistik untuk Mengembangkan Pengertian Siswa.”, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14- 15 November 2001.
Sutarsih, Ignatia. 2001. Pengalaman dalam Uji Coba Pembelajaran Matematika secara Realistik, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14 – 15 November 2001.
www.cascadeimei.com
www.geocities.com
www.geocities.com/Athens/crete
www.geocities.com/ratuilma/rme
www.geocities.com/ratuilma/linkframeset_indo.htm1
Selama ini masih banyak orang yang menganggap bahwa matematika tidaklah lebih dari sekedar berhitung dan bermain dengan rumus dan angka-angka. Melalui suatu angket yang dilaksanakan oleh Hendra Gunawan (Pikiran Rakyat, 1998, yang dimuat dalam www.geocities.com/ratuilma/linkframeset_indo.htm1 ), ditanyakan kepada sejumlah mahasiswa baru yang pada waktu itu baru saja diterima di Perguruan Tinggi terkemuka di negara kita, “Menurut Anda, matematika itu apa ? “ Jawaban yang diperoleh hampir seragam, yaitu matematika adalah ilmu hitung-menghitung yang senantiasa berurusan dengan rumus dan angka-angka.
Selama ini kita mungkin menerima begitu saja pengajaran matematika di sekolah, tanpa mempertanyakan mengapa atau untuk apa matematika harus diajarkan. Tidak jarang muncul keluhan bahwa matematika cuma bikin pusing siswa (dan juga orang tuanya) dan dianggap sebagai momok yang menakutkan oleh sebagian siswa. Begitu beratnya gelar yang disandang matematika yang membuat kekawatiran pada prestasi belajar matematika siswa. Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi rasa bosan pada matematika adalah faktor penyampaian materi atau metode pembelajaran matematika yang monoton dan itu-itu saja.
Matematika adalah ilmu yang berkembang sejak ribuan tahun lalu dan masih tumbuh subur hingga kini. Tidak mungkin bisa semuanya diajarkan kepada siswa di sekolah. Jadi, seharusnya bukan materi yang kita kejar, tetapi tujuannya. Penting untuk diingat oleh penyusun kurikulum matematika, juga guru di lapangan, agar materi tidak terlalu padat, sehingga siswa punya waktu cukup untuk mengendapkan apa yang telah diperoleh dan mengembangkan kemampuan berpikir secara optimal.
Pada dasarnya, matematika adalah pemecahan masalah karena itu, matematika sebaik -nya diajarkan melalui berbagai masalah yang ada disekitar siswa dengan memperhatikan usia dan pengalaman yang mungkin dimiliki siswa.
Berdasarkan tujuan/keinginan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap matematika dan meminimalkan anggapan-anggapan negatif terhadap matematika yang membuat para ahli pendidikan matematika di Indonesia berupaya mencari terobosan baru menemukan metode pembelajaran matematika lain dengan mengacu pada pengalaman di negara lain dan dengan melihat karakteristik yang dimungkinkan dapat diujicobakan juga di Indonesia.
Ada 3 pendekatan yang cukup mendasar, yaitu “pemecahan masalah” atau “problem solving” yang mendapat keutamaan di Jepang, “contextual teaching and learning” ataupun “connected mathematics” yang mulai dilaksanakan di sebagian Amerika dan “Realistic Mathematics Education” yang sudah melalui proses ujicoba dan penelitian lebih dari 25 tahun di Belanda.(R.Soedjadi,2001).
B. Realistic Mathematics Education
Salah satu faktor penyebab rendahnya pengertian siswa terhadap konsep-konsep mate -matika adalah pola pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Pembelajaran matematika di Indonesia dewasa ini, “dunia nyata” hanya digunakan untuk mengaplikasikan konsep dan kurang mematematisasi “dunia nyata”. Bila dalam pembelajaran di kelas, pengalaman anak sehari-hari dijadikan inspirasi penemuan dan pengkonstruksian konsep (pematematisasian pengalaman sehari-hari) dan mengaplikasikan kembali ke “dunia nyata” maka anak akan mengerti konsep dan dapat melihat manfaat matematika. (I Gusti Putu Suharta, 2001).http://s1pgsd.blogspot.com/
Realistic Mathematics Education adalah suatu teori dalam pendidikan matematika yang berdasarkan pada ide bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan matematika harus dihubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari-hari siswa sebagai suatu sumber pengembangan dan sebagai area aplikasi melalui proses matematisasi baik horizontal maupun vertikal. (www.geocities.com/Athens/crete).
Teori Realistic Mathematics Education pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda sejak 31 tahun lalu (sejak tahun 1970) oleh Institut Freudenthal dan menunjuk -kan hasil yang baik, berdasarkan hasil The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2000. (Ahmad Fauzan, 2001).
Menurut Freudenthal (Ahmad Fauzan, 2001), aktivitas pokok yang dilakukan dalam Realistic Mathematics Education meliputi : menemukan masalah-masalah/ soal-soal kontekstual (looking for problems), memecahkan masalah (solving problems), dan mengorganisir bahan ajar (organizing a subject matter). Hal ini dapat berupa realitas-realitas yang perlu diorganisir secara matematis dan juga ide-ide matematika yang perlu diorganisir dalam konteks yang lebih luas. Kegiatan pengorganisasian seperti ini disebut matematisasi.
Dalam Realistic Mathematics Education, siswa belajar mematematisasi masalah-masalah kontekstual. Dengan kata lain, siswa mengidentifikasi bahwa soal kontekstual harus ditransfer ke dalam soal bentuk matematika untuk lebih dipahami lebih lanjut, melalui penskemaan, perumusan dan pemvisualisasian. Hal tersebut merupakan proses matematisasi horizontal. Sedangkan matematisasi vertikal, siswa menyelesaikan bentuk matematika dari soal kontekstual dengan menggunakan konsep, operasi dan prosedur matematika yang berlaku dan dipahami siswa.(Dian Armanto, 2001).
Sehingga dalam matematisasi horizontal berangkat dari dunia nyata masuk ke dunia symbol sedangkan matematisasi vertikal berarti proses/pelaksanaan dalam dunia symbol. (www.geocities.com/ratuilma/rme).
C. Karakteristik Realistic Mathematics Education dan Bagaimana Memulai Pelajaran RME.
Realistic Mathematics Education mempunyai lima karakteristik (www.geocities.com/ Athens/crete), yaitu :
1. menggunakan konteks yang real terhadap siswa sebagai titik awal untuk belajar.
2. menggunakan model sebagai suatu jembatan antara real dan abstrak yang membantu siswa belajar matematika pada level abstraksi yang berbeda.
3. menggunakan produksi siswa sendiri atau strategi sebagai hasil dari mereka “ doing mathematics”.
4. interaksi adalah penting untuk belajar matematika antara guru dan siswa, siswa dan siswa.
5. keterkaitan antara unit-unit matematika dan masalah-masalah yang ada dalam dunia ini.
Dalam RME, mengambil sesuatu dari dunia nyata, mematematisasinya dan merefleksi -kan, kemudian membawanya kembali ke dunia nyata, yang oleh De Lange (1987) disebut sebagai matematisasi konseptual dan aplikasi digambarkan dalam skema berikut :
Dunia Nyata
Matematisasi Matematisasi dan
dalam Aplikasi Refleksi
Abstraksi dan Formalisasi
Menurut Zulkardi (www.geocities.com) ide berikut ini dapat digunakan bila memulai pelajaran menggunakan metode realistik :
1. Materi RME lebih dari sekedar menghitung yaitu membangun kemampuan berpikir dan berargumentasi yang dapat dipakai oleh siswa selamanya. Materi yang dipakai berbeda dengan materi lama.
2. Kebanyakan soal dapat diselesaikan lebih dari satu strategi atau solusi. Tujuannya adalah untuk mendiskusikan perbedaan strategi memutuskan mana yang terbaik untuk soal itu. Dalam contoh guru akan menanya siswa tertentu untuk menjelaskan idenya dan di lain waktu siswa tertentu akan diminta mendengarkan dan menganalisa jawaban temannya.
3. Siswa bisa bekerja sendiri atau berdua atau dalam grup kecil untuk mendapat kesempatan banyak menjelaskan pikiran dan pengertiannya.
Suksesnya implementasi materi RME tergantung pada kemampuan guru untuk membuat suatu iklim di mana siswa mau mencoba berpikir dengan cara baru dan mengkomunikasi -kan apa yang dihasilkannya. Jika guru menghargai perbedaan jawaban siswa, maka siswa akan respek untuk mencoba idenya. Untuk memberi semangat atau motivasi di antara siswa, perlu juga menggunakan perkataan seperti :
Dengar penjelasan temanmu, atau, Bagaimana hal ini berbeda dengan jawabanmu ?
Jika mereka kesulitan di grupnya, maka diskusi kelas akan membantu. Terutama hal evaluasi strategi mana yang paling cocok untuk suatu masalah. (www.geocities.com/Athens/crete)
D. Pelaksanaan RME di Indonesia
Memperhatikan keberhasilan Belanda dan negara-negara lain dalam pendidikan matematika dengan menggunakan pendekatan realistic (RME), maka ditempuh langkah awal dengan mengembangkan pilot proyek implementasi pembelajaran matematika realistic di Bandung, Yogyakarta dan Surabaya.
Beberapa ahli pendidikan matematika di Indonesia telah sepakat menggunakan nama PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) untuk pendekatan baru yang sedang diujicobakan.
Berikut ini diberikan hasil pelaksanaan uji coba PMRI yang dilaksanakan di Yogyakarta yaitu SD Kanisius Demangan Baru dan MIN Yogyakarta II (berdasarkan hasil workshop pengembangan pembelajaran matematika secara realistik tanggal 4 – 11 Juli 2001 di P3G Matematika di Yogyakarta, yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik pada tanggal 14-15 November 2001) :
1. Proses belajar mengajar :
a. Siswa belajar secara individual (atau berkelompok) dengan menyelesaikan masalah-masalah yang sudah disiapkan guru dalam kelas.
b. Beberapa siswa disuruh maju ke depan kelas menjelaskan bagaimana dia menyelesaikan suatu soal dengan caranya sendiri/meragakannya dengan menggunakan alat peraga yang telah disiapkan.
c. Guru memotivasi siswa menemukan sendiri cara mereka dan berani mengemukakan caranya itu kepada teman dalam kelompok atau di depan kelas.
2. Keunggulan yang diperoleh dari pengalaman kedua sekolah tersebut selama melakukan uji coba terbatas dapat disarikan sebagai berikut :
1. Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan realitas yang ada disekitar siswa.
2. Karena siswa membangun sendiri pengetahuannya maka siswa tidak mudah lupa dengan materi.
3. Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban ada nilainya.
4. Melatih siswa untuk terbiasa berpikir dan berani mengemukakan pendapat.
5. Pendidikan budi pekerti, misal : saling kerjasama dan menghormati teman yang sedang berbicara.
3. Kelemahan :
a. karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih kesulitan dalam menemukan sendiri jawabannya.
b. untuk memahami satu materi pelajaran dibutuhkan waktu yang cukup lama.
c. membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu.
d. belum ada pedoman penilaian , sehingga guru merasa kesulitan dalam evaluasi/memberikan nilai.
E. Penutup
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian berkaitan dengan pengalaman yang diperoleh dari hasil pelaksanaan ujicoba pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik di Yogyakarta (Sutarto Hadi, 2001) :
1. Materi kurikulum PMRI.
Diperlukan materi kurikulum dengan konteks Indonesia. Mengembangkan sendiri materi kurikulum PMRI dengan konteks Indonesia akan memakan waktu yang panjang karena harus melalui rangkaian :
a. olah pikir (pengembang mendesain materi PMR yang relevan dengan kurikulum yang berlaku)
2. ujicoba dengan kelompok kecil siswa (oleh pengembang sendiri).
3. revisi berdasarkan hasil uji coba skala kecil.
4. uji coba oleh guru di kelas; dan
5. revisi berdasarkan hasil uji coba di kelas.
Berkaitan dengan pengembangan materi kurikulum PMR beberapa hal berikut perlu mendapat perhatian :
1. konteks yang dipilih harus dikenal baik oleh siswa
2. bahasa yang digunakan harus sederhana dan jelas
3. gambar harus mendukung konsep
Apabila upaya mengembangkan sendiri materi tidak memungkinkan dalam waktu singkat, dapat dilakukan adaptasi terhadap materi PMR yang sudah ada. Namun ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian :
1. tidak setiap konteks dapat langsung diadopsi.
2. Apabila konteks yang ingin diadaptasi dirasa cukup dikenal, selanjutnya adalah penerjemahan soal yang menyertai konteks tersebut.
3. Sedapat mungkin konteks dapat menjelaskan pesan yang ingin disampaikan tanpa penjelasan lisan.
4. Gambar dapat mempengaruhi siswa
2. Persepsi Guru tentang PMRI.
Persepsi yang akan diuraikan ini adalah persepsi guru selama pelatihan PMR :
a. Sebagian besar guru matematika mempunyai tanggapan yang positif, PMR dirasakan sebagai sesuatu yang dibutuhkan.
2. Guru dapat melihat proses belajar dan berpikir matematika dalam menemukan konsep yang dipelajari siswa.
3. PMR memberikan harapan kepada guru dalam menghadapi persoalan berkaitan dengan manfaat belajar matematika.
4. Kehadiran PMR dirasakan oleh guru dapat mengubah pendekatan yang kering dan mekanistik menjadi lebih menyenangkan dan bermakna baik bagi guru maupun para siswa.
5. Bagi sebagian guru kehadiran PMR ditanggapan dengan kekawatiran.
6. Guru merasa lebih aman jika PMR diterapkan hanya untuk topik-topik tertentu dan diberikan sebagai selingan dari materi dan metode yang sudah biasa diterapkan oleh guru selama ini.
7. Bagi guru PMR tidak akan berhasil apabila sistem penilaian masih menggunakan sistem EBTANAS.
3. Reaksi Siswa terhadap PMR.
Adanya perubahan reaksi siswa karena perubahan orientasi pendidikan dari “teacher- centered learning” ke “pupil-centered learning”, yaitu :
a. Bagi sebagian siswa, PMR tidak mudah dan menjadikan frustasi, karena siswa terbiasa selalu menerima penjelasan dari guru dan tidak terbiasa untuk berpikir kreatif dan mempelajari sendiri atau menemukan sendiri konsep yang dipelajari.
2. Perubahan yang sangat ekstrim yang ditanggapi siswa ada dua kategori yaitu lebih menuntut (cenderung negatif) yang dimaknai sebagai memaksa siswa untuk berpikir dan bekerja matematika yang lebih keras dan memeras energi, dan lebih menantang (cenderung positif) yang dimaknai sebagai membangkitkan motivasi siswa untuk belajar sehingga tidak bosan.
Daftar Pustaka
Armanto, Dian. 2001. “Alur Pembelajaran Perkalian dan Pembagian Dua Angka dalam Pendidikan Matematika Realistik (PMR).”, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14- 15 November 2001.
Fauzan, Ahmad. 2001. “ Pendidikan Matematika Realistik: Suatu Tantangan dan Harapan.” , disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14- 15 November 2001.
Hadi, Sutarto. 2001. ‘PMRI : Beberapa Catatan Sebelum Melangkah Lebih Jauh.”, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14 – 15 November 2001.
Maier, Herman. 1985. Kompendium Didaktik Matematika. Bandung : CV Remadja Karya.
Marpaung, Y. 2001. Pendekatan Realistik dan Sani dalam Pembelajaran Matematika, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14 – 15 November 2001.
Ratini, dkk. 2001. Pengalaman dalam Melaksanakan Uji Coba Pembelajaran Matematika secara Realistik di MIN Yogyakarta II, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14 – 15 November 2001.
Soedjadi, R. 2001. Pembelajaran Matematika Berjiwa RME, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14 – 15 November 2001.
Suharta, I Gusti Putu. 2001. “Penerapan Pembelajaran Matematika Realistik untuk Mengembangkan Pengertian Siswa.”, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14- 15 November 2001.
Sutarsih, Ignatia. 2001. Pengalaman dalam Uji Coba Pembelajaran Matematika secara Realistik, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14 – 15 November 2001.
www.cascadeimei.com
www.geocities.com
www.geocities.com/Athens/crete
www.geocities.com/ratuilma/rme
www.geocities.com/ratuilma/linkframeset_indo.htm1