-->

Tuesday, January 6, 2009

BELAJAR DI ALAM LEBIH MENINGKATKAN GAIRAH BELAJAR IPA SISWA

Oleh Sahrudin,A.Ma

Bagi siswa, belajar hal yang konkrit lebih mudah dari pada belajar hal abstrak, dan belajar di alam lebih menyenangkan daripada belajar di dalam kelas.


Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa lembaga yang berkompetensi untuk meneliti dunia pendidikan, diperoleh suatu hasil seperti (1) The third International Mathematics and science study Repeat (1999) bahwa kemampuan siswa di bidang matematika dan IPA menempati urutan ke 34 dan 32 dari 38 negara. (2) menurut Human Developmen Index tahun 2002 dan 2003, mutu pendidikan kita berada pada peringkat 110 dari 173 negara dan 112 dari 175 negara yang diteliti. Kesimpulannya bahwa mutu pendidikan di negara kita tergolong rendah, bahkan lebih rendah dari negara Vietnam. Dengan berbagai hasil tersebut tentu kita bertanya–tanya ada apa dengan sistem pendidikan kita? Apanya yang salah dengan pendidikan kita? Apa yang harus kita lakukan untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan negara kita. Berbagai pertanyaan akan muncul dari benak kita selaku orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Hal yang demikian juga muncul dalam diri penulis. Hal tersebut tentunya menggugah kita semua selaku insan yang bersentuhan langsung dengan pendidikan untuk lebih berdaya upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan lebih khusus lagi mutu pembelajaran.

Pemerintah yang dalam hal ini paling bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional telah melakukan berbagai upaya sebagai langkah in servece training melakukan berbagai penataran dan Diklat, untuk meningkatkan mutu dan kompetensi guru. Hal tersebut tentu karena adanya suatu asumsi bahwa “Terdapat korelasi yang cukup signifikan antara kompetensi guru dengan kemampuan guru tersebut dalam merancang strategi pembelajaran, sehingga pada akhirnya akan dapat pula meningkatkan prestasi belajar siswa“. Guru yang bermutu dan guru yang memiliki kompetensi paedagogis yang mantap akan dapat menciptakan suasana pembelajaran yang lebih menarik, menantang, memberikan kesan yang bermakna bagi dan menyenangkan. Lalu langkah kiat–kiat apa yang seharusnya dilakukan oleh guru untuk menciptakan hal–hal yang diharapkan di atas.

Katakanlah dalam pembelajaran IPA, agar pembelajaran IPA yang difasilitasi oleh guru dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menarik, menantang, dan bermakna bagi siswa, guru harus pandai–pandai merancang strategi pembelajaran, memanfaatkan multi media, dan multi metode, multi aspek (logika, praktika, estetika ).

Pembelajaran IPA yang saat ini berlangsung di lapangan umumnya verbalisme, artinya guru cenderung untuk menjelaskan materi–materi IPA dan konsep–konsep IPA dengan menggunakan metode ceramah yang notabene merupakan metode termudah dan termurah. Tetapi dengan cara konvensional semacam ini, apakah makna dari belajar atau learning itu sendiri tersentuh? Dan apakah dengan cara–cara belajar semacam ini susuai dengan eksistensi psikologis siswa Sekolah Dasar itu sendiri. Cara–cara belajar IPA yang semacam ini tentu jauh dari kahikat IPA itu sendiri. Nada sinis yang sering dijadikan kelakar bahwa cara mengajar seperti itu dikatakan “ Sastra IPA”. Artinya tidak ada bedanya antara pembelajaran bahasa Indonesia dengan IPA.

Untuk menciptakan suasana yang berbeda dengan hal tersebut tentu dibutuhkan kompetensi profesional yang tinggi, dan pemahaman terhadap siswa itu sendiri. Piaget, mengemukan bahwa tahapan berpikir siswa sekolah dasar berada pada tahapan konkrit operasional, artinya dalam pembelajaran siswa hendaknya dihadapkan pada hal–hal yang konkrit, atau hal-hal nyata yang ada disekitar siswa dan dikenal oleh siswa. Ada sesuatu yang salah dalam cara-cara pembelajaran IPA yang umumnya dilakukan teman-teman guru kebanyakan. Hal yang salah itu yaitu sebelum siswa masuk dunia sekolah siswa umumnya (1) lincah, (2) Selalu belajar apa yang diinginkannya dengan gembira, (3) menggunakan segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitar yang menarik perhatiannya, (4) membangun sendiri pengetahuan dan pemahaman lewat pengalaman nyata sehari–hari. Hal ini bertentangan dengan setelah anak masuk ke dunia persekolahan, yaitu (1) anak dipaksa belajar dengan cara guru, (2) pembelajaran berlangsung tegang, (3) suasana belajar kurang menarik dan kurang bermakna.Cara–cara seperti ini yang secara konvensional terjadi di lapangan.

Untuk menjawab masalah–masalah di atas diperlukan langkah-langkah inovatif, yang menjadikan kita keluar dari suatu kebiasaan yang selama ini kita lakukan. Guru hendaknya terus mengikuti teori-teori baru dalam dunia pendidikan,yang menjadikannya memanfaatkan strategi belajar aktual dan kontektual.

Sebagai misal kalau guru sedang membahas tentang konsep ekosistem, komunitas, pupulasi, tumbuhan (bagian–bagian tumbuhan), akan menjadikan hal lucu apabila hal tersebut diajarkan di dalam kelas dengan metode ceramah. Pembelajaran IPA semacam ini akan menciptakan pembelajaran IPA yang kering dari nilai–nilai IPA.

Tetapi akan tercipta hal yang sebaliknya jika siswa belajar tentang komunitas sawah dan siswa benar-benar berada di sawah. Siswa belajar tentang komunitas kolam, siswa melihat, mengamati, sendiri berbagai makluk hidup yang ada kolam tersebut. Ketika siswa belajar tentang jenis-jenis tulang daun, bagian–bagian bunga, siswa pergi memetik daun sendiri, memetik dan mengamati sendiri dan menggambarkan sendiri bagian–bagian bunga. Selanjutnya sambil mencari tempat yang teduh dibawah pohon-pohon yang rindang, siswa membahas hal-hal yang ditugaskan oleh guru, bertanya tentang gagasannya yang berhubungan dengan alam sekitar, dan mempertanyakan gagasan orang lain tentang alam sekitar. Cara-cara belajar semacam ini dan cara kerja semacam ini telah menciptakan saintis–saintis muda. Tentu hal ini akan sangat berbeda dengan suasana pembelajaran tentang konsep–konsep tersebut hanya bermodalkan kapur dan papan tulis, dan menerapkan cara belajar CBSH (cata buku sampai habis). Dan akan tercipta hal yang sangat mengharukan apabila guru mengajarkan konsep IPA yang sebenarnya materinya sangat kaya di lingkungan sekitar tetapi guru mengajarkannya dengan cara berikut:

“Anak-anak coba kalian catat materi tentang ekosistem, dari halaman… sampai halaman…, ingat kalian hafalkan materi itu, karena minggu depan kita ulangan !”

Membawa siswa langsung ke alam sebenarnya merupakan model pembelajaran kontekstual. Sebab dengan belajar secara langsung di alam siswa dapat (1) membangun keterkaitan antara informasi (pengetahuan baru) dengan pengalaman (pengetahuan lain) yang telah mereka miliki atau mereka kuasai. (2) mereka diajarkan bagaimana mereka mempelajari konsep, dan bagaimana konsep tersebut dipergunakan di dunia nyata di luar kelas.

Membawa siswa untuk belajar langsung di alam, lebih mendekatkan makna dan hakikat dari belajar (learning) itu sendiri. Belajar pada prinsipnya adalah proses membangun makna, dan tercipta antara interaksi siswa dengan lingkungan. Sedangkan perananan guru dalam rangka kegiatan pembelajaran berperan sebagai fasilitator dan motifator.

Akhir datulisan ini hendaknya merupakan suatu yang perlu kita pikirkan dan kita pertimbangkan barsama, yaitu: (1) Kalau disekitar kita tersedia lingkungan alam yang sangat kaya dengan data dan sumber belajar mengapa tidak kita manfaatkan? (2) Kalau siswa lebih mudah belajar hal-hal yang konkrit mengapa kita mengajarkannya secara abstrak? (3) Kalau di lingkungan kita tersedia sumber belajar yang murah, mengapa kita memilih yang mahal? (4) Kalau siswa belajar langsung di alam lebih menggairahkan cara belajarnya mengapa tidak kita turuti ?
Marilah kita renungkan bersama hal-hal tersebut, semoga bermanfaat.

Advertiser