Menurut Cunningsworth (1995) ada dua dimensi konteks belajar bahasa, yaitu konteks bahasa dan konteks anak. Konteks bahasa antara lain mensyaratkan bahasa yang dipelajari itu harus utuh, tidak lepas-lepas, dan jelas ragamnya. Konteks anak antara lain mensyaratkan bahasa yang dipelajari itu harus sesuai dengan lingkungan, kebutuhan bahasa, kematangan jiwa, dan minat anak. Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Cunningsworth tersebut, pemilihan bahan ajar sudah sepatutnya mempertimbangkan kedua konteks tersebut. Nunan (1995) juga mengungkapkan bahwa bahan atau wacana pembelajaran bahasa sebaiknya dipilih berdasarkan konteks sosial, budaya, kebahasaan, dan kehidupan siswa (http://groups.yahoo.com/group/ppiindia)
Keleluasaan guru untuk memilih apa yang diajarkan dalam pelajaran Bahasa Indonesia sebaiknya dilandasi oleh pertimbangan mengenai apa yang diungkapkan oleh Cunningsworth dan Nunan di atas. Karena pembelajaran bahasa berkaitan dengan pembelajaran budaya, maka sebaiknya guru juga mempertimbangkan aspek-aspek budaya yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, kekuatan karya sastra dapat dimanfaatkan.
Yang menjadi pertanyaan adalah: bagaimana mendorong anak untuk menyukai karya sastra dalam proses pembelajaran bahasa? Wray dan Medwell (1991: 56-63) menyarankan sejumlah strategi untuk mendorong anak berinteraksi dengan kesusastraan. Strategi itu adalah pilihan (choice) yang diberikan oleh guru kepada peserta didik, kesempatan (opportunity) untuk membaca, suasana (atmosphere) yang dibangun dalam menikmati karya sastra, contoh (model) yang dapat ditiru oleh peserta didik dalam budaya membaca, dan berbagi (sharing) informasi mengenai apa yang sudah dibaca. Strategi-strategi ini dapat diterapkan oleh pengelola pendidikan sebagai langkah pelaksanaan KTSP ini sebagai berikut.
Guru dapat memberi kesempatan peserta didik untuk memilih bacaan yang disukainya. Mungkin, pada mulanya bacaan itu bukanlah bacaan yang dinilai baik oleh guru. Namun, dengan memberi kebebasan peserta didik untuk memilih dan menikmati bacaan pilihannya, guru dapat memperkenalkan peran bacaan sebagai sarana untuk memperkaya pengetahuan. Setelah itu, guru dapat meminta peserta didik untuk memilih bacaan yang temanya sudah ditentukan oleh guru.
Peserta didik perlu diberi kesempatan seluas-luasnya untuk membaca secara individual. Misalnya, jika peserta didik datang lebih awal, mereka boleh membaca bacaan yang mereka pilih. Keleluasaan menentukan bahan ajar, seperti tertuang dalam KTSP, sebaiknya juga mempertimbangkan keleluasaan waktu untuk membaca dan mendiskusikan apa yang telah dibaca.
Suasana menyenangkan perlu dibangun di sekolah. Suasana dapat dibedakan menjadi suasana fisik dan suasana sosial. Suasana fisik berkaitan dengan penempatan buku yang rapi dan menarik. Suasana sosial dapat dibangun di kelas dengan menciptakan iklim persaingan sehat dalam membaca buku. Misalnya saja, anak-anak diminta untuk membaca buku yang berhubungan dengan sastra sebanyak-banyak dalam waktu tertentu, dan siapa yang paling banyak membaca akan mendapatkan hadiah.
Tidak dapat dimungkiri bahwa peserta didik berasal dari latar belakang yang beragam. Ada keluarga yang membiasakan anak untuk membaca, ada yang tidak. Guru dapat menunjukkan antusiasmenya dalam kesempatan membaca. Antusiasme guru ini dapat menjadi contoh yang baik bagi peserta didik. Guru juga dapat lebih dahulu membicarakan buku favoritnya, dan menunjukkan bagaimana waktu membaca adalah waktu yang sangat menyenangkan.
Melalui karya sastra, anak juga dapat berbagi pengalaman dan perasaan. Menceritakan pengalaman yang hampir mirip atau sama sekali berbeda berdasarkan buku yang dibaca merupakan kegiatan yang seharusnya menambah minat peserta didik dalam belajar berbahasa. Selain itu mendorong anak untuk menciptakan puisi sebagai bentuk ekspresi pengalaman dan perasaan juga penting. Namun, perlu diingat bahwa setiap anak mempunyai minat yang berbeda mengenai hal ini. Memaksa anak untuk menciptakan suatu bentuk ekspresi bahasa bukanlah tindakan yang bijaksana.
Keleluasaan guru untuk memilih apa yang diajarkan dalam pelajaran Bahasa Indonesia sebaiknya dilandasi oleh pertimbangan mengenai apa yang diungkapkan oleh Cunningsworth dan Nunan di atas. Karena pembelajaran bahasa berkaitan dengan pembelajaran budaya, maka sebaiknya guru juga mempertimbangkan aspek-aspek budaya yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, kekuatan karya sastra dapat dimanfaatkan.
Yang menjadi pertanyaan adalah: bagaimana mendorong anak untuk menyukai karya sastra dalam proses pembelajaran bahasa? Wray dan Medwell (1991: 56-63) menyarankan sejumlah strategi untuk mendorong anak berinteraksi dengan kesusastraan. Strategi itu adalah pilihan (choice) yang diberikan oleh guru kepada peserta didik, kesempatan (opportunity) untuk membaca, suasana (atmosphere) yang dibangun dalam menikmati karya sastra, contoh (model) yang dapat ditiru oleh peserta didik dalam budaya membaca, dan berbagi (sharing) informasi mengenai apa yang sudah dibaca. Strategi-strategi ini dapat diterapkan oleh pengelola pendidikan sebagai langkah pelaksanaan KTSP ini sebagai berikut.
Guru dapat memberi kesempatan peserta didik untuk memilih bacaan yang disukainya. Mungkin, pada mulanya bacaan itu bukanlah bacaan yang dinilai baik oleh guru. Namun, dengan memberi kebebasan peserta didik untuk memilih dan menikmati bacaan pilihannya, guru dapat memperkenalkan peran bacaan sebagai sarana untuk memperkaya pengetahuan. Setelah itu, guru dapat meminta peserta didik untuk memilih bacaan yang temanya sudah ditentukan oleh guru.
Peserta didik perlu diberi kesempatan seluas-luasnya untuk membaca secara individual. Misalnya, jika peserta didik datang lebih awal, mereka boleh membaca bacaan yang mereka pilih. Keleluasaan menentukan bahan ajar, seperti tertuang dalam KTSP, sebaiknya juga mempertimbangkan keleluasaan waktu untuk membaca dan mendiskusikan apa yang telah dibaca.
Suasana menyenangkan perlu dibangun di sekolah. Suasana dapat dibedakan menjadi suasana fisik dan suasana sosial. Suasana fisik berkaitan dengan penempatan buku yang rapi dan menarik. Suasana sosial dapat dibangun di kelas dengan menciptakan iklim persaingan sehat dalam membaca buku. Misalnya saja, anak-anak diminta untuk membaca buku yang berhubungan dengan sastra sebanyak-banyak dalam waktu tertentu, dan siapa yang paling banyak membaca akan mendapatkan hadiah.
Tidak dapat dimungkiri bahwa peserta didik berasal dari latar belakang yang beragam. Ada keluarga yang membiasakan anak untuk membaca, ada yang tidak. Guru dapat menunjukkan antusiasmenya dalam kesempatan membaca. Antusiasme guru ini dapat menjadi contoh yang baik bagi peserta didik. Guru juga dapat lebih dahulu membicarakan buku favoritnya, dan menunjukkan bagaimana waktu membaca adalah waktu yang sangat menyenangkan.
Melalui karya sastra, anak juga dapat berbagi pengalaman dan perasaan. Menceritakan pengalaman yang hampir mirip atau sama sekali berbeda berdasarkan buku yang dibaca merupakan kegiatan yang seharusnya menambah minat peserta didik dalam belajar berbahasa. Selain itu mendorong anak untuk menciptakan puisi sebagai bentuk ekspresi pengalaman dan perasaan juga penting. Namun, perlu diingat bahwa setiap anak mempunyai minat yang berbeda mengenai hal ini. Memaksa anak untuk menciptakan suatu bentuk ekspresi bahasa bukanlah tindakan yang bijaksana.