-->

Thursday, July 30, 2009

Menjadikan Televisi Sebagai Sumber Belajar Yang Baik

Dewasa ini kita hidup di tengah abad informasi. Seiring dengan tuntutan zamannya, manusia akan selalu memiliki ketergantungan terhadap media informasi. Televisi sebagai salah satu media informasi dan sarana komunikasi tidak bisa dipisahkan keberadaannya dari kehidupan masyarakat. Hampir setiap keluarga memiliki media yang satu ini. Memang tidak bisa dipungkiri kalau televisi memiliki banyak manfaat. Terutama acara-acara yang menayangkan berita-berita aktual, santapan rohani, ilmu pengetahuan, dan sajian-sajian lainnya yang dapat menghantarkan pemirsa pada sesuatu yang bermakna. Hal itu menurut Rahma Widyana karena secara teknis televisi memiliki keunggulan cara kerja. Yaitu adanya perpaduan antara gambar dan suara sehingga membuat pesan informasi lebih mudah diserap oleh seluruh lapisan masyarakat, baik kalangan manusia berpendidikan maupun tidak berpendidikan.

Di balik kemanfaatan yang dapat dipetik pemirsa dari televisi, sebenarnya TV banyak menyimpan pesan yang kurang bermanfaat atau bahkan merusak (destruktif), baik bagi orang tua, remaja maupun anak-anak. Khususnya bagi anak-anak, media ini banyak membawa dampak negatif bagi dunianya. Kita sering mendengar keluh-kesah orang tua tentang perilaku anak-anaknya yang kurang terpuji, seperti ; suka membantah, pemalas, penuntut, berani dan kurang ajar terhadap orang tua. Mereka lantas menuding televisi sebagai faktor penyebab semua kelakuan anak tersebut. Maka muncullah sikap kurang arif orang tua dalam menyikapi kasus ini. Beberapa di antaranya lalu melarang anak menonton televisi. Ada pula yang berbuat ekstrem dengan menganggap televisi sebagai barang haram yang tidak layak dimiliki keluarga Muslim (Zidni Immawan Muslimin, 2003).

Dari segi waktu, televisi lebih banyak lagi menimbulkan pengaruh negatif bagi anak. Pesawat ini telah menyita lebih lama kesempatan anak untuk belajar, bermain, bersosialisasi dengan teman-temannya serta membantu orang tuanya. Hal ini karena acara televisi mengandung daya pikat dan kemampuan yang tinggi dalam “menghipnotis” anak untuk menghabiskan waktu bersamanya. Rahma Widyana dalam makalahnya juga menyatakan kalau hasil survei yang dilakukan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) pada bulan April 2002 terhadap 561 anak dari 5 Sekolah Dasar di Jakarta Timur menunjukkan bahwa mereka umumnya menonton TV selama 30-35 jam per minggu. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dari segi kuantitas menonton televisi, anak-anak Indonesia tidak jauh berbeda dengan anak-anak Amerika Serikat. Menurut Milton Chen, praktisi dan pengamat televisi Amerika, anak-anak di negeri Paman Sam tersebut menghabiskan waktunya untuk menonton TV sebanyak 28 jam dalam seminggu.

Beberapa psikolog mengatakan bahwa dunia anak adalah dunia bermain. Sedangkan bagi anak-anak sekolah, dunia anak adalah belajar. Permasalahannya adalah, bagaimana televisi yang menurut kebanyakan orang mengganggu anak dalam belajar itu justru bisa dijadikan sebagai sumber belajar baginya ?

Orang tua yang bijak , tentu akan akan mencari aneka solusi agar anak bisa memetik banyak segi manfaat dari televisi. Daripada menyalahkan anak dan televisi yang pada akhirnya justru akan memunculkan persoalan baru di luar yang kita harapkan. Ini selaras dengan target pendidikan ideal bahwa mendidik manusia punya ilmu untuk bisa memanfaatkan sarana, bukan berkutat pada ilmu cari sarana (harta). Begitu pula pensikapan ideal terhadap televisi, pemirsa lah yang mengelola tayangan televisi, bukan televisi yang menguasai kehidupan pemirsa.

Pentingnya anak sebagai obyek bahasan ini, sebab pada hakekatnya kedudukan anak bagi orang tuanya adalah sumber kebahagiaan, kesenangan dan harapan di dalam hidup di dunia dan di masa yang akan datang (akherat). Semua harapan ini bertumpu pada pendidikan yang baik pada anak-anak dan pemberian persiapan yang logis untuk kehidupan mereka. Sehingga mereka akan menjadi aktif memiliki elemen-elemen yang konstruktif di dalam masyarakat. Dengan begitu anak dapat menjadi sumber kebahagiaan orangtuanya. Allah SWT berfirman,”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS.Al-Kahfi :46). Firman Allah ini juga mengisyaratkan bahwa pendidikan anak yang terabaikan , akan menjadikan mereka memiliki pribadi yang buruk, beban bagi keluarga , masyarakat dan umat manusia secara keseluruhan.

Rumah bagi keluarga adalah mikrokosmos masyarakat. Di sana mentalitas, intelektualitas, sikap, dan kecenderungan anak-anak terbentuk ketika mereka masih sangat kecil dan siap untuk menerima tuntunan dan bimbingan yang masuk akal. Jadi, peran penting orang tua dalam membentuk pemikiran anak menuju kebenaran dan amalan-amalan yang baik begitu jelas. Rasulullah bersabda, “Ajarilah anak-anakmu dan keluargamu kebaikan dan didiklah mereka.” (HR. Abdur Razak dan Sa’id bin Muslim). Juga sabda beliau SAW yang lain, “Tidaklah ada pemberian orang tua kepada anaknya yang lebih utama daripada budi pekerti yang baik” (HR. Tirmidzi).

Suatu hal yang perlu digarisbawahi bahwa dalam mendidik anak, Islam menekankan sikap dinamis. Sebagaimana pernah dipesan Rasulullah SAW, “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya.” Seiring dengan era saat ini , maka televisi sebenarnya merupakan media alternatif dalam menunjang pembelajaran anak. Ada beberapa tips untuk menjadikan televisi sebagai sumber belajar bagi anak. Pertama, menyeleksi acara TV yang akan ditonton. Bila orang tua tidak bisa menemani anak menonton televisi selayaknya ia memilihkan acara yang banyak mengandung unsur pengetahuan, wawasan dan ketrampilan (kreativitas). Misalnya tayangan tentang pengetahuan dunia hewan dan tumbuhan, kuis, sinetron anak, dan sejenisnya.

Kedua, menemani anak menonton TV. Makna ‘menemani’ di sini tentu saja tidak hanya duduk diam dan pasif di samping anak. Namun otang tua selayaknya aktif merangsang anak dengan bertanya, berkomentar, dan mengajak berdialog dengan anak akan baik dan buruknya nilai-nilai yang diserap dalam acara tersebut. Bila perlu orang tua bisa meminta penjelasan pada anak akan arah acara yang mereka tonton, mengajak anak berlomba menebak jawaban pertanyaan kuis, menerangkan istilah-istilah presenter TV yang masih asing bagi anak, dan sejenisnya.

Ketiga, bila kondisi memungkinkan, pergunakan pesawat video yang menyatu dengan televisi untuk menayangkan beberapa film keilmuan, film anak yang edukatif, atau permainan komputer dalam bentuk CD. Keempat, perlunya tenggang rasa dari orang tua untuk tidak menonton TV saat anak belajar, juga konsistensi nya terhadap tayangan yang boleh dan tidak boleh ditonton si anak, meskipun dirinya sangat ingin melihat acara TV yang disukainya.

Lebih utama dari kiat-kiat tersebut adalah tindakan orang tua dalam menerapkan metode terbaik dalam mengasuh, mendidik dan membesarkan anak-anak. Orang tua yang cerdas akan kenal betul kondisi psikologis anak-anaknya. Ia sangat paham dengan perbedaan sikap dan kecenderungan mereka, kemudian berusaha memasuki dunia mereka untuk menanamkan benih-benih baik berupa nilai-nilai luhur dan sifat terpuji dengan menggunakan metode pendidikan yang paling baik dan paling efektif. Bila bekal tersebut sudah ditanamkan kuat-kuat, maka dengan sendirinya anak akan memeliki kemampuan dalam menilai sesuatu yang baik atau tidak baik dari lingkungan sekitarnya. Termasuk di antaranya adalah media televisi yang ditonton setiap harinya.

Advertiser