Implementasi PMR
Abstrak:
Proses belajar mengajar yang berkembang di kelas pada umumnya ditentukan oleh peranan guru dan siswa
sebagai individu-individu yang terlibat langsung di dalam proses tersebut.
Dalam pelaksanaan pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan realistik, setiap siswa diharapkan
memberikan kontribusi pemikiran baru yang tercipta melalui pemecahan masalah matematika realistik sehingga
terbentuk suatu lingkungan belajar yang kondusif sedemikain rupa sehingga setiap individu dalam kelas dapat berfungsi
dan dipandang sebagai sumber informasi atau sebagai sumber belajar. Hal ini dapat dimungkinkan dengan
mengembangkan pola matematisasi horizontal yaitu transformasi masalah ke dalam model untuk pengetahuan
matematika formal dan matematisasi vertikal berupa representasi hubungan-hubungan dalam rumus, yang
menyesuaikan model matematika dalam pengunaan yang berbeda-beda. Kata Kunci: Pembelajaran, Matematika
Realistik (PMR), Proses belajar mengajar
1. Pendahuluan
Tujuan pendidikan nasional seperti dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya. Manusia seutuhnya adalah manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesejahteraan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1989).
Berbicara soal mencerdaskan kehidupan bangsa memiliki jangkauan dan kajian yang sangat luas, terutama kajian
pendidikan yang menyangkut pembelajaran di sekolah-sekolah. Jika dirunut ke belakang, maka dapat dispesifikkan lagi
sampai kepada pembelajaran dari salah satu mata pelajaran yang memberikan kontribusi positif bagi pencerdasan dan
pencerahan kehidupan bangsa sekaligus turut memanusiakan bangsa Indonesia dalam arti dan cakupan yang lebih
luas. Salah satu yang ingin dikaji yakni, Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dan kendala yang
muncul di lapangan.
Masalah klasik dalam pendidikan matematika di Indonesia adalah rendahnya prestasi murid serta kurangnya motivasi
dan keinginan terhadap pembelajaran matematika di sekolah.
Matematika yang diajarkan di sekolah terdiri dari elemen-elemen dan sub-sub bagian matematika yang dipisahkan atas
pembagian yang terdiri dari: (1) arti/hakekat kependidikan yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan daya
nalar serta pembinaan kepribadian siswa; (2) adanya kebutuhan yang nyata berupa tuntutan perkembangan riel dari
kepentingan hidup masa kini dan masa mendatang yang senantiasa berorientasi pada perkembangan pengetahuan
seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi.
Dalam hal ini, pembelajaran matematika yang diterapkan di sekolah saat ini merupakan basic yang sangat penting
dalam keikutsertaannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sudah barang tentu, pencapaian target
“mencerdaskan kehidupan bangsa”, akan tetap segar bugar dan tegar menyongsong persaingan di era
globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang diaplikasikan pada persaingan era industrialisasi pada
semua aspek kehidupan yang relevan dengan kemajuan informasi dan komunikasi yang berkembang dengan pesatnya.
Menurut laporan Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 1999 yang merupakan kriteria
acuan, rendahnya daya saing murid Indonesia di ajang international (Indonesia diperingkat ke 34 dari 38 negara)
menunjukkan betapa lemahnya kemampuan penguasaan matematika di negara kita ini.
Menurut Suyatno (1988), dalam pengajaran matematika, penyampaian guru cenderung bersifat monoton, hampir tanpa
variasi kreatif, kalau saja siswa ditanya, ada saja alasan yang mereka kemukakan, seperti matematika sulit, tidak mampu
menjawab, takut disuruh guru ke depan, dan sebagainya. Sementara itu Syarien (1991) berpendapat adanya gejala
matematika phobia (ketakutan anak terhadap matematika) yang melanda sebahagian besar siswa, sebagai akibat tak
kenal maka tak sayang.
2. Kajian Literatur
2.1 Pendidikan Matematika Realistik dan Pembentukan Kemampuan Berpikir Siswa
Masalah klasik yang selalu muncul adalah keluhan masyarakat bahwa proses pembelajaran matematika di sekolah
masih menggunakan pendekatan tradisional atau mekanistik, yakni seorang guru secara aktif mengajarkan matematika,
kemudian memberikan contoh dan latihan, di sisi lain siswa berfungsi seperti mesin, mereka mendengar, mencatat, dan
mengerjakan latihan yang diberikan guru.
Menurut Soedjadi (1992) dalam upaya pembenahan sangat perlu keberanian, kejujuran untuk melihat kenyataan yang
memang terjadi di lapangan tanpa harus mencari siapa yang salah serta dengan tulus ikhlas mengakui kelemahan yang
ada, sekaligus dengan cermat tepat mengarahkan pembenahan kepentingan kualitas siswa sebagai generasi muda kita.
Peningkatan kualitas peserta didik tidak dapat dilakukan dengan menutup mata pada kenyataan keanekaragaman
lingkungan masyarakat Indonesia. Kita harus mampu menatap keluar, namun juga harus tanggap di dalam. Menatap
keluar berarti kita harus mampu mengikuti perkembangan dan perubahan di berbagai negara yang intisarinya dapat
dipetik dan bermanfaat bagi bangsa Indonesia.
Pada umumnya guru menguasai matematika hanya pada taraf penerapan, sehingga guru hanya mampu sampai taraf
pengguna matematika. Akibatnya, ia tidak akan mampu berperanserta mengembangkan ilmu matematika menembus
daerah ketidaktahuannya. Putman (1987) berpendapat bahwa salah satu aspek penting dalam pengajaran matematika
adalah agar siswa mampu mengaplikasikan konsep-konsep matematika dalam berbagai keterampilan serta mampu
duniaguru.com
http://duniaguru.com Powered by Joomla! Generated: 26 December, 2008, 07:47
menggunakannya sebagai strategi untuk memecahkan berbagai masalah.
Kesempatan diskusi di kelas jarang dilakukan serta interaksi dan komunikasi kurang digalakkan. Seiring dengan proses
pembelajaran seperti itu, menurut de Lange (2001) , bahwa tujuan pemberian materi matematika masih berdasarkan
'matematika untuk matematikawan' bukan 'matematika untuk anak-sekolah' yang seyogyanya fokus dan penerapannya
harus disesuaikan dengan apa yang pernah dialami murid setiap harinya. Menurut Zulkardi (1999), hal ini bertentangan
dengan kebutuhan masyarakat informasi saat ini di mana melek matematika (mathematics literacy) adalah tujuan yang
amat penting. Implikasinya, bahwa tujuan, materi dan proses belajar matematika sekolah di Indonesia perlu direformasi.
2.2 Pemikiran yang Melandasi Pengajaran Matematika Realistik
Pengembangan Matematika realistik didasarkan pada pandangan Freudenthal terhadap matematika (Freudenthal, 1991)
yang berpandangan sebagai berikut: (1) matematika harus dikaitkan dengan hal yang nyata bagi murid, dan (2)
matematika harus dipandang sebagai suatu aktivitas manusia.
Pertama, untuk mulai dari fenomena atau kejadian yang real bagi murid maka prinsip Freudenthal's didactical
phenomenology bahwa belajar harus mulai dari suatu masalah kontekstual yang pada akhirnya memunculkan konsep
matematika yang dipelajari harus digunakan. Kedua, dengan menggunakan prinsip guided reinvention melalui
progressive mathematizations, murid digiring secara didaktik dan efisien dari suatu level berfikir ke level berikutnya
melalui matematisasi. Kedua prinsip ini dan prinsip self developed models (Gravemeijer, 1994) dioperasionalisasikan ke
dalam lima karakteristik dasar dari Realistic Mathematic’s Education (de Lange, 1987; Gravemeijer, 1994)
sebagai berikut: (1) menggunakan masalah kontekstual, (2) menggunakan model, (3) menggunakan kontribusi murid, (4)
interaktivitas, (5) terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya.
De Lange (1993) menggarisbawahi masalah utama dalam mengimplementasikan yaitu bagaimana melatih guru untuk
menggunakan materi baru dan mengajar dengan materi tersebut menggunakan pendekatan baru. Hal ini tampaknya
kompleks karena adanya beberapa perubahan yaitu: (1) materi matematika berbeda dengan yang sebelumnya; (2)
peranan guru berubah dari mengajar ke tidak mengajar; dan (3) materi evaluasi difokuskan pada soal-soal level
menengah dan atas meskipun tidak melupakan level bawah. Perubahan ini harus diperhitungkan bila pendekatan RME
akan diimplementasikan di Indonesia.
Pada tahun 1998, de Lange mengajukan alasan mengapa PMR cukup potensial untuk diterapkan di sekolah. Alasannya
bahwa proses pengembangan konsep PMR dan berbagai gagasan matematika bermula dari dunia nyata dan pada
akhirnya perlu merefleksikan hasil-hasil yang diperoleh dalam matematika tersebut ke dalam bentuk alam yang nyata.
Artinya, yang dilakukan dalam proses matematika adalah mengambil sesuatu dari bentuk dunia nyata di bawa ke dalam
model matematisasi, dan pada akhirnya dikembalikan lagi ke bentuk alam nyata. Hal ini digambarkan dalam model
sebagai berikut.
Sejalan dengan itu, menurut Soedjadi (2001) Realistic Mathematics Education (RME) memiliki filsafat dasar yaitu bahwa
“matematika adalah aktivitas manusia”, dan tidak lagi dipandang “siap pakai”. Filsafat ini
mengakibatkan perubahan yang amat mendasar tentang proses pembelajaran matematika. Tidak lagi hanya pemberian
informasi dalam pembelajaran matematika, tetapi harus mengubah menjadi aktivitas manusia untuk memperoleh
pengetahuan matematika. Selanjutnya RME memiliki prinsip: 1) Reinvention dan progressive matematization, 2)
Didactical phenomenology dan 3) Self-developed model. Karakteristiknya meliputi: 1) Menggunakan konteks, 2)
Menggunakan model, 3) Menggunakan konstribusi siswa, 4) Interaksi, dan 5) Interwining.
Implementasi pendidikan matematika realistik di Indonesia harus dimulai dengan mengadaptasikan PMR sesuai dengan
karakteristik dan budaya bangsa Indonesia. Pengimplementasian PMR di kelas harus didukung oleh sebuah perangkat
yang dalam hal ini adalah buku ajar yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Menurut Suharta (2001) bahwa
implementasi PMR di kelas meliputi tiga fase yakni: fase pengenalan, fase eksplorasi dan fase meringkas.
Pada fase pengenalan, guru memperkenalkan masalah realistik dalam matematika kepada seluruh siswa serta
membantu untuk memberi pemahaman (setting) masalah. Pada fase ini sebaiknya ditinjau ulang semua konsep-konsep
yang berlaku sebelumnya dan diusahakan untuk mengaitkan masalah yang dikaji saat itu ke pengalaman siswa
sebelumnya
Pada fase eksplorasi, siswa dianjurkan bekerja secara individual, berpasangan atau dalam kelompok kecil. Pada saat
siswa sedang bekerja, mereka mencoba membuat model situasi masalah, berbagi pengalaman atau ide, mendiskusikan
pola yang dibentuk saat itu, serta berupaya membuat dugaan. Selanjutnya dikembangkan strategi-strategi pemecahan
masalah yang mungkin dilakukan berdasarkan pada pengetahuan informal atau formal yang dimiliki siswa. Di sini guru
berupaya meyakinkan siswa dengan cara memberi pengertian sambil berjalan mengelilingi siswa, melakukan
pemeriksaan terhadap pekerjaan siswa, dan memberi motivasi kepada siswa untuk giat bekerja. Dalam hal ini, peranan
guru adalah memberikan bantuan seperlunya kepada siswa yang memerlukan bantuan. Bagi siswa yang berkemampuan
tinggi, dapat diberikan pekerjaan yang lebih menantang yang berkaitan dengan masalah.
Pada fase meringkas, guru dapat mengawali pekerjaan lanjutan setelah siswa menunjukkan kemajuan dalam
pemecahan masalah. Sebelumnya mendiskusikan pemecahan-pemecahan dengan berbagai strategi yang mereka
lakukan. Dalam hal ini, guru membantu siswa meningkatkan kinerja matematika secara lebih efisien dan efektif. Peranan
siswa dalam fase ini sangat penting seperti: mengajukan dugaan, pertanyaan kepada yang lain, bernegosiasi, alternatifalternatif
pemecahan masalah, memberikan alasan, memperbaiki strategi dan dugaan mereka, dan membuat
keterkaitan. Sebagai hasil dari diskusi, siswa diharapkan menemukan konsep-konsep awal/utama atau pengetahuan
matematika formal sesuai dengan tujuan materi. Dalam fase ini guru juga dapat membuat keputusan pengajaran yang
memungkinkan semua siswa dapat mengaplikasikan konsep atau pengetahuan matematika formal.
duniaguru.com
http://duniaguru.com Powered by Joomla! Generated: 26 December, 2008, 07:47
2.3 Strategi Pendidikan Matematika Realistik di Indonesia
Selter dalam Zuklardi (2001) menekankan bahwa semua aktivitas PMR dimediasi melalui guru, khususnya melalui
teacher's beliefs tentang bagaimana mengorganisir dan memfasilitasi murid belajar matematika. Dalam konteks ini,
LPTK (pre-service atau in-service) memainkan peranan penting. Salah satu strategi kunci dalam situasi ini adalah
melibatkan mereka, guru atau calon guru, dalam pengembangan profesi mereka (professional development)
menggunakan strategi berikut: (1) kuliah alau training singkat (untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan guru
atau calon guru), (2) pengembangan kurikulum (dengan mengadaptasi materi pembelajaran inovasi langsung ke kelas
atau sekolah); dan (3) teknologi (untuk menyediakan media infonnasi yang kaya dan pendekatan baru itu).
2.4 Kurikulum PMR Pendidikan Matematika Realistik mulai diperkenalkan dalam dunia pendidikan matematika di
Indonesia, yang tidak lain merupakan pengembangan gagasan pemikiran dari Freudenthal (1905-1990). Ide penerapan
PMR pertama kali diperkenalkan di Negeri Belanda sekitar tahun 1970 oleh Institut Freudenthal, yang mengacu pada
pemikiran Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan
aktivitas manusia. Ini bermakna bahwa, matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata
sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti, manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan
kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilakukan melalui
penjelajahan berbagai situasi dan masalah-masalah realistik. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak hanya mengacu
pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000).
Pertanyaan mendasar yang ingin dikemukakan adalah “bagaimana memperkenalkan PMR kepada guru-guru di
sekolah dan bagaimana upaya pengimplementasiannya secara efektif di sekolah?”
Menurut Hadi (2001), pertanyaan tersebut menyangkut pendesainan program pengembangan profesional guru, dan
sebagai konsekuensinya perlu disediakan materi kurikukum yang berbasis PMR sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari program tersebut. Persoalannya kemudian adalah masih belum tersedia materi kurikulum yang berbasis PMR dan
relevan dengan kurikulum yang saat ini berlaku. Berkaitan dengan hal tersebut ada dua altematif, yaitu apakah
mengembangkan sendiri materi kurikulum PMR dengan konteks Indonesia atau mengadaptasi materi PMR yang sudah
ada dengan menyesuaikan konteksnya dengan konteks Indonesia. Mengingat keterbatasan waktu dan tenaga, yang
relevan adalah mengadaptasi. Materi PMR yang dipilih diambil dari MiC (Mathematics in Contect) yaitu materi PMR
untuk kelas 5/6 s.d. 8/9 yang dikembangkan oleh University of Wisconsin dan Institut Freudenthal. Pertanyaanpertanyaan
operasional berikutnya adalah: (1) Dalam konteks Indonesia, bagaimanakah mengadaptasi materi PMR dari
MiC? (2) Dalam implementasinya, bagaimanakah mengenalkan PMR kepada guru matematika? (3) Upaya pengelolaan
yang bagaimana seharusnya dilakukan dalam mempersiapkan guru agar mampu mengajarkan PMR secara tepat dan
efektif di sekolah?
Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut di atas, kiranya dibutuhkan pemikiran yang lebih luas dan usaha yang tepat
dalam mempersiapkan kurikulum PMR yang sesuai untuk kondisi pedidikan dan budaya masyarakat di Indonesia. Dalam
hal ini PMR merupakan teori baru bagi sebagian besar orang di Indonesia, terutama para guru.
Pada dasarnya guru-guru matematika, dapat dikategorikan sebagai kelompok yang tidak memiliki ide atau pengertian
apapun tentang PMR. Oleh karena itu, tidak rasional mengharapkan mereka terlalu dini mampu menerapkan PMR di
kelas sebelum mereka mengenal secara baik apa dan bagaimana PMR itu.
Menurut Sembiring (2001) dalam RME permasalahan disajikan sedemikian rupa sehingga dimungkinkan muncul
beberapa alternatif pemecahan soal. Dengan demikian diharapkan para siswa, atau kelompok siswa, datang dengan
berbagai alternatif pemecahan soal. Ini mendorong adanya diskusi. Cara kerja seperti ini akan menumbuhkan percaya
diri dan sekaligus menanamkan prinsip demokrasi pada diri siswa. Jadi melalui RME kita menanamkan pemahaman
demokrasi.
Menurut Soedjadi (1994) bahwa kurikulum matematika yang ada sekarang ini jelas terlihat penekanannya terletak
kepada apa yang harus diajarkan, tetapi kurang mengarahkan kepada bagaimana megajarkan materi ajaran itu. Pada
dasarnya kurikulum dibuat untuk dapat memenuhi tuntutan kehidupan maupun tuntutan perkembangan ilmu yang
demikian pesat serta perkembangan teknologi yang sudah langsung mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Tidak dapat
dipungkiri bahwa kedudukan matematika realistik dalam perkembangan suatu bangsa di masa depan akan semakin
penting, baik dalam makna formal (penataan nalar dan pembentukan sikap mental) maupun dalam makna material
(terutama penggunaan matematika realistik). Perkembangan ilmu dan teknologi semakin menuntut pemilihan materi
matematika yang tepat untuk melayaninya. Ini jelas menuntut fleksibilitas kurikulum. Dalam pada itu kurikulum sekolah di
suatu negara dapat melepaskan diri dari keadaan nyata lingkungan masyarakat negara itu. Indonesia yang satu tetapi
bineka ini memerlukan kurikulum yang tidak melupakan mereka yang terbelakang sekaligus tidak membiarkan Indonesia
selalu tertinggal. Perlu pola kurikulum PMR yang berani jauh ke depan tanpa selalu tertinggal. Perlu pola kurikulum yang
berani jauh ke depan tanpa melupakan kenyataan yang kini ada. Memperhatikan hal-hal tersebut maka kurikulum
matematika realistik sekolah di Indonesia harus diorientasikan kepada upaya mengangkat keterbelakangan dan
mengejar ketertinggalan.
Mengapa kurikulum PMR perlu diorientasikan kepada upaya itu? Memperhatikan pengalaman, pengamatan dan hasil
penelitian sporadis, jelas terlihat bahwa ada wilayah/sekolah yang sudah siap untuk cepat maju tetapi juga ada
wilayah/sekolah yang memang secara nyata belum siap untuk maju cepat. Kenyataan demikian memerlukan rumusan
kemampuan, yang perlu sesuai dengan lingkungan yang menuntut tingkah penalaran yang beragam. Berikut ini
dikemukakan bagaimana orientasi kurikulum matematika sekolah itu perlu dijabarkan secara lebih jelas.
Organisasi kurikulum atau bentuk kurikulum menentukan bahan pelajaran, urutan, dan cara penyampaiannya kepada
siswa. Subjek berarti pengalaman manusia yang disususn secara logis dan sistematis, atau diartikan juga mata
pelajaran. Subjek kurikulum adalah bentuk kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran.
duniaguru.com
http://duniaguru.com Powered by Joomla! Generated: 26 December, 2008, 07:47
Apabila kurikulum matematika realistik itu dipandang sebagai suatu sistem, maka kurikulum matematika mempunyai 4
komponen utama yakni: (1) tujuan, (2) kegiatan atau pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tersebut, (3)
pengetahuan, yakni bahan pelajaran matematika realistik yang diperoleh dan digunakanan dalam proses belajar, dan (4)
penilaian atau evaluasi hasil belajar matematika realistik yang gunanya untuk mengetahui hingga mana tujuan itu
tercapai.
Keempat komponen tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Tujuan yang telah ditetapkan itu
menentukan bahan pelajaran apa yang harus dipilih yang dapat membawa siswa ke arah tujuan yang ditentukan. Bahan
pelajaran matematika menentukan kegiatan belajar matematika yang harus dialami siswa. Jadi lebih dahulu harus
dirumuskan tujuan, barulah kemudian bahan pelajaran matematika dan kegiatan belajarnya. Tujuan juga menentukan
penilaian, apa yang dinilai dalam matematika dan bagaimana cara menilainya. Menilai pengetahuan matematika tidak
sama caranya dengan menilai sikap atau keterampilan. Yang dinilai bukan hanya tujuan, melainkan juga bahan
pelajaran dan kegiatan belajar. Jika komponen tujuan tidak tercapai, mungkin kesalahannya terletak pada komponenkomponen
lainnya.
Dalam pembelaajran matematika realistik harus diperhatikan keseimbangan antara kononen-komponen itu. Pada
experince atau capacity curriculum misalnya, terlampau mengutamakan kegiatan atau pengalaman belajar dan kurang
mementingkan unsur pengetahuan, sedangkan subject curriculum mengutamakan aspek pengetahuan dan kurang
mementingkan kegiatan atau pengalaman belajar. Gambaran komponen tujuan ini sebagai berikut.
Kurikulum PMR tidak hanya mengenai bagaimana mengorganisasikan dan mengintegrasikan bahan pelajaran
matematika realistik itu sendiri, tetapi juga penilaian terhadap hasil diagnosis mengenai kelemahan atau kekuatan
komponen-komponen kurikulum, sehingga dapat diketahui komponen mana yang perlu diperbaiki, misalnya mengajar,
dan bahan pelajaran tidak sesuai dengan tingkat kematangan siswa.
Salah satu unsur pokok dalam pengajaran matematika realistik adalah matematika itu sendiri. Guru matematika realistik
harus mengetahui objek yang akan diajarkan yaitu matematika secara umum yang bersifat nyata. Apakah matematika
itu? Matematika adalah pengetahuan mengenai kuantitatif dan ruang, salah satu cabang dari sekian banyak cabang
ilmu, yang sistematis, teratur dan eksak. Matematika adalah angka-angka dan perhitungan yang merupakan bagian dari
kehidupan manusia. Matematika menolong manusia menafsirkan secara eksak berbagai ide dan kesimpulankesimpulan.
Matematika adalah pengetahuan atau ilmu mengenai logika dan problem-problem numerik Matematika
membahas fakta-fakta dan hubungan-hubungannya, serta membahas problem ruang dan bentuk.
Matematika adalah queen of science (ratunya ilmu). Walau reputasinya tidak bernoda dalam hal metode, validitas dan
logikanya, namun masih mempunyai problem dalam hal dasar logika. Matematika hanya dikembangkan secara sebagiansebagian
dan terus menerus mengalami perubahan, baik metode maupun isinya. Walaupun matematika jauh lebih eksak
dari ilmu-ilmu sosial, dan lebih eksak dari ilmu-ilmu fisik, matematika tidaklah eksak secara absolut. Bagi seseorang yang
telah diindoktrinasi dalam hal kebenaran absolut dan kesempurnaan matematika, jika melakukan studi tentang ahli-ahli
dan sejarah matematika, bisa kehilangan harapan, tetapi bisa menemukan cahaya terang.
Orientasi pengajaran matematika kita saat ini cenderung sangat prosedural. Secara gamblang seorang guru
menyatakan bahwa selama ini mereka (para guru matematika) mengajarkan siswa-siswa menghafalkan rumus-rumus
atau prosedur matematik tertentu. Kehadiran PMR dirasakan dapat memperbaiki kondisi tersebut, yaitu mengubah
pendekatan yang kering dan mekanistik menjadi lebih menyenangkan dan bermakna baik bagi guru maupun para siswa.
Agar pembelajaran bermakna bagi siswa maka pembelajaran seyogianya dimulai dengan masalah-masalah yang
realistik. Kemudian siswa diberi kesempatan menyelesaikan masalah itu dengan caranya sendiri dengan skema yang
dimiliki dalam pikirannya. Artinya siswa diberi kesempatan melakukan refleksi, interpretasi, dan mencari strateginya yang
sesuai. Keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika haruslah dipahami sebagai keaktifan melakukan matematisasi
baik horizontal maupun vertikal, yang memuat kegiatan refleksi dan tidak serta merta siswa telah melakukan aktivitas
konstruksi. Rekonstruksi terjadi bila siswa dalam aktivitsnya melakukan refleksi, interpretasi, dan internalisasi.
Rekonstruksi itu dimugkinkan terjadi dengan probabilitas yang lebih besar melalui diskusi, baik dalam kelompok kecil
maupun diskusi kelas atau berbagai bentuk interaksi dan negosiasi. Guru membimbing mereka untuk menarik
kesimpulan bagi diri masing-masing-masing. Secara perlahan siswa dilatih untuk melakukan rekonstruksi atau
reinvention. Mula-mula matematisasi berlangsung secara horizontal dan dengan bimbingan guru siswa melakukan
matematisasi vertikal (Marpaung: 2001).
2.5 Mempersiapkan Materi Kurikulum PMR
Penerapan PMR secara tepat guna di lapangan tidak dapat dilaksanakan tanpa dukungan dan ketersediaan materi
kurikulum berbasis PMR. Untuk itu diperlukan materi kurikulum dengan konteks Indonesia.
Menurut Hadi (2001) mengembangkan sendiri materi kurikulum PMR dengan konteks Indonesia akan memakan waktu
yang panjang karena harus melalui rangkaian: (1) olah fikir (pengembang mendesain materi PMR yang relevan dengan
kurikulum yang berlaku); (2) ujicoba dengan kelompok kecil siswa (oleh pengembang sendiri); (3) revisi berdasarkan
hasil uji coba skala kecil; (4) uji coba oleh guru di kelas; dan (5) revisi berdasarkan hasil uji coba di kelas.
Apabila rangkaian evaluasi dan revisi terhadap draft materi kurikulum PMR tersebut dilaksanakan secara baik, akan
menghasilkan materi yang userfriendly baik bagi siswa maupun guru. Walaupun demikian, ini tidak menjamin bahwa
materi tersebut akan mendorong peningkatan prestasi siswa dalam belajar matematika. Ini akan dibuktikan setelah guru
dan siswa menggunakan materi tersebut dalam jangka waktu tertentu.
Berkaitan dengan pengembangan materi kurikuluni PMR beberapa hal berikut perlu mendapat perhatian: (1) konteks
yang dipilih harus dikenal baik oleh siswa; (2) bahasa yang digunakan harus sederhana dan jelas; dan (3) gambar harus
mendukung konsep.
Apabila upaya mengembangkan sendiri materi kurikulum PMR dianggap tidak efisien dalam jangka pendek, dapat
duniaguru.com
http://duniaguru.com Powered by Joomla! Generated: 26 December, 2008, 07:47
dilakukan adaptasi terhadap materi PMR yang sudah ada. Ini jauh lebih mudah dibanding mengembangkan sendiri.
Namun beberapa hal berikut perlu mendapat perhatian:
(1) Tidak setiap konteks dapat langsung diadopsi, mengingat perbedaan budaya dan pengalaman siswa kita dengan
siswa luar negeri. Bahkan untuk konteks yang sudah dikenal siswa, pengalaman sebelumnya tentang konteks tersebut
dapat mempenganthi mereka dalam menyelesaikan soal.
(2) Apabila konteks yang ingin diadaptasi dirasakan oleh pengembang cukup dikenal, persoalan selanjutnya adalah
pengadaptasian dan penerjemahan soal yang menyertai konteks tersebut. Penerjemahan dari bahasa asing ke dalam
bahasa Indonesia harus menyampaikan pesan yang sama agar tidak membingungkan.
(3) Sedapat mungkin konteks dapat menjelaskan pesan yang ingin disampaikan tanpa penjelasan lisan. Hal ini terutama
penting untuk ukuran kelas yang besar (40 s.d. 45 siswa per kelas). Karena kalau konteks masih memerlukan
penjelasan lisan dari guru akan memakan waktu yang lama sebelum siswa-siswa siap bekerja menyelesaikan soal
dalam materi kurikulum (buku siswa).
(4) Gambar dapat mempengaruhi siswa. Beberapa siswa menggunakan/menafsirkan gambar untuk menyelesaikan soal.
Karena penafsiran yang keliru terhadap gambar yang menyertai soal, jawaban siswa menjadi salah.
2.6 Panguasaan Materi Ajar PMR
Menurut Putman (1987), tujuan pengajaran matematika adalah pencapaian transfer belajar. Salah satu aspek penting
dalam pencapaian transfer belajara matematika itu agar siswa menguasai konsep-konsep matematika, dan keterampilan
PMR sehingga dapat diaplikasikan dalam pemecahan masalah. Dari semua aspek yang telah dikemukakan di atas,
tidaklah mengherankan jika dijumpai kenyataan bahwa penguasaan materi ajar PMR dari peserta didik masih perlu
dikemas dengan lebih menarik. Lebih dari itu, adanya kenyataan bahwa peserta didik tidak mampu menyelesaikan soal
atau masalah yang sedikit saja keluar dari kurikulum atau dari buku paket. Menurut Soejadi (1992) bahwa kelemahan
bermatematika siswa di jenjang SD yang sering diungkapkan oleh beberapa pihak, antara lain: (1) tidak dapat dengan
cepat mengerjakan perkalian,dan pembagian; (2) mengerjakan pecahan; (3) memahami geografi; (4) menyelesaikan
soal ceritera
Kelemahan-kelemahan tentang hal-hal yang mendasar di SD berpengaruh terhadap panguasaan materi ajar di SLTP
dan juga di SMU; selanjutnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan kemampuan melakukan analisis. Penguasaan
materi ajar yang tidak mantap mengakibatkan gejala umum yaitu terlupakan dalam satu minggu.
Menurut Suharta (2001), dalam pengajaran matematika realistik dibutuhkan upaya: (1) penemuan kembali terbimbing
dan matematisasi progresif; (2) fenomena didaktik; dan (3), mengembangkan model-model sendiri.
Dalam hal pertama, pembelajaran matematika realistik harus diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk
mengalami sendiri proses penemuan matematika. Prinsip ini dapat memberikan inspirasi yang menerapkan prosedur
pemecahan informal, di mana melalui matematisasi, siswa harus diberikan kesempatan untuk melakukan proses
penemuan kembali (reinvention) konsep-konsep matematika yang telah dipelajarinya. Hal ini dapat dicapai bilamana
pengajaran matematika realistik yang dilakukan menggunakan situasi yang kondusif berupa fenomena-fenomena yang
mengandung konsep matematika realistik bagi siswa.
Dalam hal kedua, pembentukan situasi dalam pemecahan masalah matematika realistik harus menetapkan aspek
aplikasi, dan mempertimbangkan pengaruh proses dari matematisasi progresif. Dalam hal ini siswa akan menggunakan
pengetahuan matematika informal yang mereka miliki untuk memecahkan masalah matematika realistik yang mereka
hadapi. Strategi-strategi informal yang dikemukakan siswa akan bervariasi, dan dengan demikian strategi-strategi
informal yang diberikan oleh guru tidak sama dengan yang dikemukakan siswa, berarti akan ada peningkatan
pengetahuan bagi siswa. Seorang guru matematika harus mampu mengakomodasi strategi-strategi informal yang
dikemukakan oleh siswa dan dipergunakan sebagai alat untuk menuju pengetahuan matematika formal.
Dalam hal ketiga, pemecahan masalah matematika realistik harus mampu dijembatani melalui pengembangan modelmodel
yang diciptakan sendiri oleh siswa dari yang konkrit menuju situasi abstrak, atau dari pengetahuan matematika
informal ke bentuk pengetahuan matematika formal. Artinya, model yang diciptakan sendiri oleh siswa untuk
memecahkan masalah yang mampu menciptakan kreasi dalam kepribadian siswa melalui aktivitas di bawah bimbingan
guru. Melalui matematisasi horizontal, model tentang masalah berubah menjadi model untuk pengetahuan matematika
formal, dan melalui matematisasi vertikal berubah menjadi model pengetahuan matematika formal.
Menurut Suwarsono (2001), kekuatan-kekuatan yang diperlukan untuk mengatasi kerumitan mengimplementasikan PMR
di sekolah antara lain:
(1) Pemahaman tentang PMR dan upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan paradigma, yaitu
perubahan pandangan yang sangat mendasar, mengenai berbagai hal, misalnya mengenai siswa, mengenai guru,
mengenai peranan soal, peranan konteks, peranan alat peraga (manipulative materials), pengertian belajar, dan lain-lain.
(2) Pencarian soal-soal yang kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh PMR tidak selalu mudah untuk
setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut masing-masing harus dapat
diselesaikan dengan bermacam cara.
(3) Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan setiap soal juga merupakan
tantangan tersendiri.
(4) Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa, dengan melalui soal-soal yang kontekstual, proses matematisasi
horisontal, dan proses matematisasi vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan
mekanisme berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan
kembali terhadap konsep-konsep matematika tertentu. Dalam hal ini diperlukan microdidaktics.
(5) Pemilihan alat-alat peraga harus cermat, agar alat peraga yang dipilih bisa membantu proses berpikir siswa sesuai
dengan tuntutan PMR.
duniaguru.com
http://duniaguru.com Powered by Joomla! Generated: 26 December, 2008, 07:47
(6) Penilaian dalam PMR lebih rumit daripada dalam pembelajaran yang konvensional (Lihat Verhage & de Lange, 1996).
(7) Kepadatan materi pembelajaran dalam kurikulum perlu dikurangi secara substansial, agar proses pembelajaran
siswa bisa berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip PMR.
2.7 Matematisasi Horizontal dan mateamtisasi Vertikal dan kaitannya dengan Berpikir Lateral dan Berpikir Vertikal
Dalam pengajaran matematika realistik ini dapat dilakukan dua pendekatan yaitu melalui matematisasi horizontal dan
vertikal (Treffers:1991). Ia mengatakan sebagai berikut: “Matematisasi horizontal adalah pemodelan situasi
masalah yang dapat didekati dengan makna matematika. Atau dengan kata lain: menggiring dari dunia yang dirasakan
kepada dunia lambang. Sepanjang pembagian tersebut kita mengamati bahwa dalam dunia konkrit berupa dunia yang
dirasakan, hal tersebut bukan suatu indikasi tingkat kemutlakan tetapi sesuatu yang bersifat relatif. Misalnya, dari bagianbagian
dunia lambang dapat menjadi bagian dari dunia yang dapat dirasakan, dan dalam kenyataannya dapat bersifat
pribadi. Matematisasi vertikal diarahkan pada perluasan dan bangunan keterampilan dan pengetahuan yang dirasakan
di dalam sistem materi pokok yang terdapat dalam dunia lambang”.
Sementara menurut de Lange (1996), matematisasi horizontal mencakup: proses informal siswa untuk menyelesaikan
sebuah soal, membuat model matematika, melakukan translasi antara modus yang ditampilkan, membuat skema,
menemukan hubungan, dan lain-lain. Sedang matematisasi vertikal mencakup: proses menyatakan suatu hubungan
dengan suatu formula, pembuktikan keteraturan, mendesain model, merumuskan konsep baru, melakukan generalisasi,
dan sebagainya. Untuk menyelesaikan berbagai persoalan matematika realistik, prosedurnya dapat digambarkan
sebagai berikut:
Contoh matematisasi horizontal adalah: pengidentifikasian, perumusan dan pemvisualisasian masalah dalam cara-cara
yang berbeda, pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematika.
Contoh matematisasi vertikal adalah perepresentasian hubungan-hubungan dalam rumus, penghalusan dan
penyesuaian model matematika, penggunaan model-model yang berbeda, perumusan model matematika dan
penggeneralisasian. Kedua jenis matematisasi memiliki nilai yang sama dalam PMR (Valden Heuvel-Panheuizen, dalam
Suharta: 2001), dan hal ini digambarkan sebagai berikut:
Dalam PMR kedua jenis matematisasi tersebut berkaitan dengan cara berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah
matematika. Kedua pemikiran itu disebut sebagai berpikir lateral dan berpikir vertikal. Perbedaan kedua cara berpikir itu,
menurut de Bono (1987) adalah sebagai berikut: Yang menjadi permasalahan dalam berpikir vertikal adalah kebenaran,
sedangkan yang menjadi permasalahan dalam berpikir lateral adalah kekayaan ragam pemikiran. Berpikir vertikal
menyeleksi jalur jalan dengan menyampingkan jalur jalan lainnya. Sebaliknya, berpikir lateral tidak menyeleksi tetapi
berupaya merintis jalur jalan lainnya. Dalam berpikir vertikal kita memilih pendekatan yang paling memberi harapan pada
suatu masalah, cara terbaik untuk mencari suatu situasi. Dalam berpikir lateral kita sedapat-dapatnya mengembangkan
sebanyak mungkin pendekatan alternatif. Dengan berpikir vertikal kita mencari berbagai pendekatan sampai
menemukan pendekatan yang memberi harapan. Dengan berpikir lateral kita berupaya mengembangkan terus sebanyak
mungkin pendekatan, bahkan setelah kita menemukan sesuatu yang memberi harapan. Dengan berpikir vertikal kita
mencoba memilih pendekatan yang terbaik, tetapi dengan berpikir lateral kita mengembangkan berbagai pendekatan
demi pengembangan pendekatan. Dengan berpikir vertikal, kita bergerak ke suatu arah yang sudah ditetapkan dengan
jelas ke arah pemecahan masalah. Kita menggunakan beberapa pendekatan yang nyata atau beberapa teknik yang
nyata. Dengan berpikir lateral kita bergerak demi gerakan itu sendiri.
2.8 Kekuatan dan Kelemahan Matematika Realistik
Mengungkap berbagai kekurangan sama artinya mengemukakan berbagai kelemahan yang muncul di depan mata kita,
sebagai suatu kenyataan apa adanya, hal ini bukan berarti bahwa pembelajaran matematika yang telah berjalan pada
kurun waktu yang lampau secara mutlak dipersalahkan atau sama sekali tidak memberi manfaat secara nyata kepada
peserta didik. Namun, pemaparan berbagai kelemahan itu lebih diartikan sebagai titik tolak untuk mengambil tindakan
positip sebagai upaya memberikan antisipasi berupa tindakan konkrit bertahap yang harus ditempuh selama
pelaksanaan pembelajaran di kelas.
Menurut Mustaqimah (2001) keunggulan dan kelemahan PMR adalah sebagai berikut:
Keunggulan
Kelemahan
1. Karena siswa membangun sendiri pengetahuannya maka siswa tidak mudah lupa dengan pengetahuannya
2. Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan realitas kehidupan, sehingga siswa tidak
cepat bosan untuk belajar matematika
3. Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban siswa ada nilainya
4. Memupuk kerja sama dalam kelompok
5. Melatih keberanian siswa karena harus menjelaskan jawabannya
6. melatih siswa untuk terbiasa berpikir dan mengemukakan pendapat
7. Pendidikan budi pekerti, misalnya: saling kerja sama dan menghormati teman yang sedang berbicara
1. Karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih kesulitan dalam menemukan sendiri
jawabannya
2. Membutuhkan waktu yang lama terutama bagi siswa yang lemah
duniaguru.com
http://duniaguru.com Powered by Joomla! Generated: 26 December, 2008, 07:47
3. Siswa yang pandai kadang-kadang tidak sabar untuk menanti temannya yang belum selesai
4. Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu
5. Belum ada pedoman penilaian, sehingga guru merasa kesulitan dalam evaluasi/memberi nilai
2.9 Problem Solving Matematika Realistik
Dalam pembelajaran matematika realistik, salah satu hal yang penting dikuasai oleh seorang guru adalah bagaimana
siswa mampu memecahkan masalah matematika yang sedang dihadapinya. Menurut Hudoyo (1981), pengajaran
matematika akan dapat berlangsung efektif jika guru yang mengajarkan matematika memiliki keterampilan dalam proses
pengerjaan matematika di kelas. Penyelesaian masalah dalam matematika realistik tidak terlepas dari bagaimana
strategi belajar mengajar menyelesaikan masalah (problem solving) yang senantiasa muncul di kelas. Mungkin
mengherankan untuk diketahui bahwa dalam mempelajari sifat-sifat masalah sedikit kegunaannya dalam menjelaskan
pengertian problem (masalah). Pengertian problem terdapat dalam sikap orang menghadapi situasi yang mungkin
merupakan problem atau bukan problem bagi mereka.
Namun demikian, apakah situasi tertentu dalam matematika realistik itu merupakan problem atau bukan bagi seorang
siswa, tergantung pada bagaimana siswa menghadapi situasi itu. Dengan demikian dapat kita definisikan problem itu
sebagai berikut: suatu situasi merupakan suatu problem bagi seseorang, jika orang itu menyadari eksistensinya situasi
itu, perlu menghendaki tindakan, dia mau atau perlu bertindak, dia melakukan tindakan, dan dia tidak segera mampu
menyelesaiakan problem itu. Dengan demikian problem solving dalam matematika adalah penyelesaian dari satu situasi
dalam matematika yang dipandang sebagai satu peroblem matematika (Murtadho dan Tambunan: 1987).
Apabila definisi problem di atas dipertahankan, maka himpunan soal-soal latihan matematika realistik di sekolah harus
diberi nama soal-soal latihan (exercises), bukan problem. Dalam hal ini, apakah soal-soal latihan matematika itu
merupakan problem atau tidak, bergantung bagaimana siswa memandangnya dan tergantung pula bagaimana dia
menyelesaikannya.
Yang perlu kita kritisi adalah kebanyakan soal-soal latihan dalam buku-buku teks matematika dirancang untuk latihan
(drill) dan praktek rutin, walau banyak dari latihan dan praktek itu (tentu yang lebih sulit) benar-benar merupakan problem
bagi hampir semua siswa. Di samping itu, tidak terlalu penting jika latihan, soal latihan, dan praktik itu disebut problem
dan prosedur penyelesaiannya disebut keterampilan problem solving. Bagaimanapun juga, yang terpenting adalah guru
matematika dan siswa mengetahui perbedaan antara belajar keterampilan matematika dengan menyelesaiakan soalsoal
latihan dan belajar pendekatan umum terhadap problem solving matematika realistik dengan cara menyelesaiakan
situasi yang benar-benar merupakan problem.
Secara umum para guru matematika percaya bahwa problem solving adalah aktivitas instruksional yang sangat penting
dalam pengajaran matematika realistik, sebab tujuan belajar (learning objective) yang melalui penyelesaian problem dan
melalui belajar prosedur problem solving umum, sangat nyata pentingnya dalam masyarakat. Penemuan-penemuan
penelitian menunjukkan bahwa strategi umum problem solving yang dipelajari dalam kelas matematika, dapat ditransfer
dan digunakan ke situasi problem solving lainnya. Prinsip-prinsip yang dipelajari dan diaplikasikan dalam problem solving
lebih banyak kemungkinannya ditransfer ke situasi problem solving lainnya daripada prinsip-prinsip yang tidak
diaplikasikan dalam penyelesaian problem-problem.
Problem solving matematika realistik dapat menolong siswa meningkatkan kemampuan menganalisis dan dapat
menolong mereka menggunakan kemampuan ini dalam situasi berbeda-beda. Penyelesaian problem dapat juga
menolong siswa belajar fakta matematika keterampilan konsep dan prinsip-prinsip dengan mengilustrasikan pemakaian
objek-objek matematika realistik dan interelasi objek-objek itu.
Karena problem solving adalah aktivitas yang mempesonakan hampir semua siswa, maka penyelesaian problem dalam
pelajaran matematika realistik dapat meningkatkan motivasi, yaitu dapat membuat matematika realistik lebih menarik
siswa. Akan tetapi problem solving dapat pula menurunkan motivasi, jika kecepatan, ketepatan, format, kenecesan, dan
mencari jawaban yang benar, menjadi tujuan pengajaran problem solving di sekolah. Problem solving itu sulit dan dapat
memfrustasikan siswa jika guru tidak menunjukkan kesabaran, pengertian, dan memberikan esistensi yang tidak
mendorong siswa. Apabila guru mengerjakan problem solving dengan menciptakan lingkungan kelas yang
menyenangkan dan mendukung, siswa dapat merasakan kepuasan mencari penyelesaian yang kreatif dan asli dari
problem-problem matematika realistik tersebut.
Problem solving adalah proses dasar dalam matematika realistik dan merupakan sebagian karya para matematikawan
yang jumlahnya banyak sekali. Oleh karena itu, siswa dapat mempelajari hakikat metematika dan aktivitas pakar
matematika lebih baik, jika mereka menyelesaikan problem matematika secara realistik. Karena meneruskan warisan
kebudayaan adalah tujuan yang penting dari sistem pendidikan, maka objek (fakta, keterampilan, konsep, prinsip-prinsip)
dan metode (strategi problem solving) matematika realistik, yang merupakan bagian yang penting dari warisan ini harus
diteruskan kepada siswa.
Problem dapat berasal dari berbagai sumber. Banyak problem yang dapat dikembangkan dari buku-buku teks yang
sedang dipelajari. Yang lain dapat dikembangkan dari model-model situasi hidup di luar kelas. Yang lain lagi, dapat
dikembangkan melalui penelitian berbagai keingintahuan akan matematika atau teka-teki matematika yang bersifat
reaksional. Pengembangan problem matematika ini dapat dilakukan dengan cara: (1) mengembangkan problem dari
materi dasar, (2) mengembangkan problem dengan teknik variasi, (3) pengembangan problem dari situasi hidup, dan (4)
mengembangkan problem dari keingintahuan dan teka-teki matematika.
3. Simpulan
Dari kajian di atas disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
duniaguru.com
http://duniaguru.com Powered by Joomla! Generated: 26 December, 2008, 07:47
(1) Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) menerapkan pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi
pada pematematisasian pengalaman hidup sehari-hari dan mengaplikasikannya dalam dua real yang ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari.
(2) PMR berdasarkan pada ide teori Real Mathematics Educatiom (RME) yang menerapkan konteks dunia real, dan
menggunakan model matematika, memproduksi hasil dan mengembangkan kemampuan siswa melalui interaksi guru
dengan cara yang ramah, dan bersifat komunikatif.
(3) Model PMR akan membantu siswa membentuk sendiri pemahaman matematikanya dengan bantuan guru.
(4) Untuk melakukan perubahan pada diri siswa guru harus ikut melakukan perubahan dalam kepribadiannya, serta
pengetahuan guru tentang alur belajar siswa juga harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
(5) Kita harus mampu menyiapkan materi kurikulum PMR yang memenuhi standar kualitas sebagaimana yang tercermin
dalam ajaran-ajaran PMR, dan tidak sepadat materi yang terdapat dalam kurikulum sekarang ini.
(6) PMR akan lebih efektif diterapkan pada kelas yang tidak terlalu besar, berkisar 25-30 siswa yang ada di dalamnya.
(7) Pendekatan realistik yang menuntut kontribusi siswa, seyogianya memberi kesempatan bagi siswa untuk melakukan
refleksi, sementara guru harus berperan sebagai model dalam merefleksi yang dilakukan secara efektif dan konsisten.
Pustaka Acuan
De Bono, Edward. 1987. Berpikir Lateral. Buku Teks Kreativitas. Jakarta: Erlangga
De Lange, J. 1996. “Using Applying Mathematics in Education: Dalam International Handbook of Mathematics
Education, Part One, Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
--------------. 1997. Mathematics, insight and meaning. Utrecht: OW & OC.
Freudenthal, H. 1991. Revisiting mathematics education. China Lectures. Dordrecht: Kluwer
Academic Publisher.
Gravemeijer. 1994. Developing Realictics Mathematics Education. Utrecht: CD-b Press/Freudenthal Institute.
Hadi, Sutarto. 2001. PMRI: beberapa catatan sebelum melangkah lebih jauh. Makalah Seminar Nasional
“Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
Marpaung, Y. 2001. Pendekatan Realistik dan Sani dalam Pembelajaran Matematika. Makalah dalam Seminar Nasional
“Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
Mastiqomah, Siti., Rumgayatri., dan Ratini. 2001. Pengalaman Dalam Melaksanakan Uji Coba Pembelajaran Matematika
Secara realistik di MIN Yogyakarta II. Makalah dalam Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik
Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Murtadho, Sutrisman & Tambunan, G. (1987) Pengajaran Matematika. Jakarta: Karunika.
Putman, Ralp T. 1987. Mathematics Knowledge For Under Standing And Problem Solving. International Journal Of
Educational Research. 11. (16). P. 67-70
Sembiring, R. K. 2001. Mengapa Memilih RME/PMRI. Makalah dalam Seminar Nasional “Pendidikan matematika
realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Slettenhaar. 2000. “Adapting Realistic Mathematics Education in the Indonesian Context.” Dalam Majalah
Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional Matematika X ITB, 17-20 Juli 2000).
Soedjadi. 1994 Orientasi Kurikulum Matematika Serkolah di Indonesia Abad 21. pada Konvensi Nasional Pendidikan
Indonesia II. Jakarta: Grasindo.
----------. 2001. Pembelajaran Matematika Berjiwa RME (suatu pemikiran rintisan ke arah upaya baru). Makalah dalam
Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Suyatno, M. 1988. “Minat siswa terhadap matematika perlu ditumbuhkan”. Jakarta: Kompas. Tanggal 1
Februari
Syarien, Syafrinal. 1991. “Ada Gejala ‘matematika phobia”. Hasil Konferensi Nasional Matematika
IV di Universitas Indonesia..” Bandung: Pikiran Rakyat tanggal 15 Juli
Undng-Undang Sistem Pedidikan Nasional (UU RI Nomor 2 Tahun 1989) dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Sinar
Grafika,
Zulkardi. 2001. Efektiviitas Ligkungan Belajar Berbasis Kuliah Singkat dan Situs Web sebagai suatu Inovasi Dalam
Menghasilkan Guru RME di Indonesia. Makalah disajikan pada seminar nasional “Pendidikan matematika realistik
Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
TIMSS. 1999. International Students Achievement in Mathematics. http://timss:bc.edu/timss1999i/pdf/T99i math 01.pdf
duniaguru.com
http://duniaguru.com Powered by Joomla! Generated: 26 December, 2008, 07:47
Abstrak:
Proses belajar mengajar yang berkembang di kelas pada umumnya ditentukan oleh peranan guru dan siswa
sebagai individu-individu yang terlibat langsung di dalam proses tersebut.
Dalam pelaksanaan pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan realistik, setiap siswa diharapkan
memberikan kontribusi pemikiran baru yang tercipta melalui pemecahan masalah matematika realistik sehingga
terbentuk suatu lingkungan belajar yang kondusif sedemikain rupa sehingga setiap individu dalam kelas dapat berfungsi
dan dipandang sebagai sumber informasi atau sebagai sumber belajar. Hal ini dapat dimungkinkan dengan
mengembangkan pola matematisasi horizontal yaitu transformasi masalah ke dalam model untuk pengetahuan
matematika formal dan matematisasi vertikal berupa representasi hubungan-hubungan dalam rumus, yang
menyesuaikan model matematika dalam pengunaan yang berbeda-beda. Kata Kunci: Pembelajaran, Matematika
Realistik (PMR), Proses belajar mengajar
1. Pendahuluan
Tujuan pendidikan nasional seperti dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya. Manusia seutuhnya adalah manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesejahteraan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1989).
Berbicara soal mencerdaskan kehidupan bangsa memiliki jangkauan dan kajian yang sangat luas, terutama kajian
pendidikan yang menyangkut pembelajaran di sekolah-sekolah. Jika dirunut ke belakang, maka dapat dispesifikkan lagi
sampai kepada pembelajaran dari salah satu mata pelajaran yang memberikan kontribusi positif bagi pencerdasan dan
pencerahan kehidupan bangsa sekaligus turut memanusiakan bangsa Indonesia dalam arti dan cakupan yang lebih
luas. Salah satu yang ingin dikaji yakni, Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dan kendala yang
muncul di lapangan.
Masalah klasik dalam pendidikan matematika di Indonesia adalah rendahnya prestasi murid serta kurangnya motivasi
dan keinginan terhadap pembelajaran matematika di sekolah.
Matematika yang diajarkan di sekolah terdiri dari elemen-elemen dan sub-sub bagian matematika yang dipisahkan atas
pembagian yang terdiri dari: (1) arti/hakekat kependidikan yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan daya
nalar serta pembinaan kepribadian siswa; (2) adanya kebutuhan yang nyata berupa tuntutan perkembangan riel dari
kepentingan hidup masa kini dan masa mendatang yang senantiasa berorientasi pada perkembangan pengetahuan
seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi.
Dalam hal ini, pembelajaran matematika yang diterapkan di sekolah saat ini merupakan basic yang sangat penting
dalam keikutsertaannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sudah barang tentu, pencapaian target
“mencerdaskan kehidupan bangsa”, akan tetap segar bugar dan tegar menyongsong persaingan di era
globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang diaplikasikan pada persaingan era industrialisasi pada
semua aspek kehidupan yang relevan dengan kemajuan informasi dan komunikasi yang berkembang dengan pesatnya.
Menurut laporan Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 1999 yang merupakan kriteria
acuan, rendahnya daya saing murid Indonesia di ajang international (Indonesia diperingkat ke 34 dari 38 negara)
menunjukkan betapa lemahnya kemampuan penguasaan matematika di negara kita ini.
Menurut Suyatno (1988), dalam pengajaran matematika, penyampaian guru cenderung bersifat monoton, hampir tanpa
variasi kreatif, kalau saja siswa ditanya, ada saja alasan yang mereka kemukakan, seperti matematika sulit, tidak mampu
menjawab, takut disuruh guru ke depan, dan sebagainya. Sementara itu Syarien (1991) berpendapat adanya gejala
matematika phobia (ketakutan anak terhadap matematika) yang melanda sebahagian besar siswa, sebagai akibat tak
kenal maka tak sayang.
2. Kajian Literatur
2.1 Pendidikan Matematika Realistik dan Pembentukan Kemampuan Berpikir Siswa
Masalah klasik yang selalu muncul adalah keluhan masyarakat bahwa proses pembelajaran matematika di sekolah
masih menggunakan pendekatan tradisional atau mekanistik, yakni seorang guru secara aktif mengajarkan matematika,
kemudian memberikan contoh dan latihan, di sisi lain siswa berfungsi seperti mesin, mereka mendengar, mencatat, dan
mengerjakan latihan yang diberikan guru.
Menurut Soedjadi (1992) dalam upaya pembenahan sangat perlu keberanian, kejujuran untuk melihat kenyataan yang
memang terjadi di lapangan tanpa harus mencari siapa yang salah serta dengan tulus ikhlas mengakui kelemahan yang
ada, sekaligus dengan cermat tepat mengarahkan pembenahan kepentingan kualitas siswa sebagai generasi muda kita.
Peningkatan kualitas peserta didik tidak dapat dilakukan dengan menutup mata pada kenyataan keanekaragaman
lingkungan masyarakat Indonesia. Kita harus mampu menatap keluar, namun juga harus tanggap di dalam. Menatap
keluar berarti kita harus mampu mengikuti perkembangan dan perubahan di berbagai negara yang intisarinya dapat
dipetik dan bermanfaat bagi bangsa Indonesia.
Pada umumnya guru menguasai matematika hanya pada taraf penerapan, sehingga guru hanya mampu sampai taraf
pengguna matematika. Akibatnya, ia tidak akan mampu berperanserta mengembangkan ilmu matematika menembus
daerah ketidaktahuannya. Putman (1987) berpendapat bahwa salah satu aspek penting dalam pengajaran matematika
adalah agar siswa mampu mengaplikasikan konsep-konsep matematika dalam berbagai keterampilan serta mampu
duniaguru.com
http://duniaguru.com Powered by Joomla! Generated: 26 December, 2008, 07:47
menggunakannya sebagai strategi untuk memecahkan berbagai masalah.
Kesempatan diskusi di kelas jarang dilakukan serta interaksi dan komunikasi kurang digalakkan. Seiring dengan proses
pembelajaran seperti itu, menurut de Lange (2001) , bahwa tujuan pemberian materi matematika masih berdasarkan
'matematika untuk matematikawan' bukan 'matematika untuk anak-sekolah' yang seyogyanya fokus dan penerapannya
harus disesuaikan dengan apa yang pernah dialami murid setiap harinya. Menurut Zulkardi (1999), hal ini bertentangan
dengan kebutuhan masyarakat informasi saat ini di mana melek matematika (mathematics literacy) adalah tujuan yang
amat penting. Implikasinya, bahwa tujuan, materi dan proses belajar matematika sekolah di Indonesia perlu direformasi.
2.2 Pemikiran yang Melandasi Pengajaran Matematika Realistik
Pengembangan Matematika realistik didasarkan pada pandangan Freudenthal terhadap matematika (Freudenthal, 1991)
yang berpandangan sebagai berikut: (1) matematika harus dikaitkan dengan hal yang nyata bagi murid, dan (2)
matematika harus dipandang sebagai suatu aktivitas manusia.
Pertama, untuk mulai dari fenomena atau kejadian yang real bagi murid maka prinsip Freudenthal's didactical
phenomenology bahwa belajar harus mulai dari suatu masalah kontekstual yang pada akhirnya memunculkan konsep
matematika yang dipelajari harus digunakan. Kedua, dengan menggunakan prinsip guided reinvention melalui
progressive mathematizations, murid digiring secara didaktik dan efisien dari suatu level berfikir ke level berikutnya
melalui matematisasi. Kedua prinsip ini dan prinsip self developed models (Gravemeijer, 1994) dioperasionalisasikan ke
dalam lima karakteristik dasar dari Realistic Mathematic’s Education (de Lange, 1987; Gravemeijer, 1994)
sebagai berikut: (1) menggunakan masalah kontekstual, (2) menggunakan model, (3) menggunakan kontribusi murid, (4)
interaktivitas, (5) terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya.
De Lange (1993) menggarisbawahi masalah utama dalam mengimplementasikan yaitu bagaimana melatih guru untuk
menggunakan materi baru dan mengajar dengan materi tersebut menggunakan pendekatan baru. Hal ini tampaknya
kompleks karena adanya beberapa perubahan yaitu: (1) materi matematika berbeda dengan yang sebelumnya; (2)
peranan guru berubah dari mengajar ke tidak mengajar; dan (3) materi evaluasi difokuskan pada soal-soal level
menengah dan atas meskipun tidak melupakan level bawah. Perubahan ini harus diperhitungkan bila pendekatan RME
akan diimplementasikan di Indonesia.
Pada tahun 1998, de Lange mengajukan alasan mengapa PMR cukup potensial untuk diterapkan di sekolah. Alasannya
bahwa proses pengembangan konsep PMR dan berbagai gagasan matematika bermula dari dunia nyata dan pada
akhirnya perlu merefleksikan hasil-hasil yang diperoleh dalam matematika tersebut ke dalam bentuk alam yang nyata.
Artinya, yang dilakukan dalam proses matematika adalah mengambil sesuatu dari bentuk dunia nyata di bawa ke dalam
model matematisasi, dan pada akhirnya dikembalikan lagi ke bentuk alam nyata. Hal ini digambarkan dalam model
sebagai berikut.
Sejalan dengan itu, menurut Soedjadi (2001) Realistic Mathematics Education (RME) memiliki filsafat dasar yaitu bahwa
“matematika adalah aktivitas manusia”, dan tidak lagi dipandang “siap pakai”. Filsafat ini
mengakibatkan perubahan yang amat mendasar tentang proses pembelajaran matematika. Tidak lagi hanya pemberian
informasi dalam pembelajaran matematika, tetapi harus mengubah menjadi aktivitas manusia untuk memperoleh
pengetahuan matematika. Selanjutnya RME memiliki prinsip: 1) Reinvention dan progressive matematization, 2)
Didactical phenomenology dan 3) Self-developed model. Karakteristiknya meliputi: 1) Menggunakan konteks, 2)
Menggunakan model, 3) Menggunakan konstribusi siswa, 4) Interaksi, dan 5) Interwining.
Implementasi pendidikan matematika realistik di Indonesia harus dimulai dengan mengadaptasikan PMR sesuai dengan
karakteristik dan budaya bangsa Indonesia. Pengimplementasian PMR di kelas harus didukung oleh sebuah perangkat
yang dalam hal ini adalah buku ajar yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Menurut Suharta (2001) bahwa
implementasi PMR di kelas meliputi tiga fase yakni: fase pengenalan, fase eksplorasi dan fase meringkas.
Pada fase pengenalan, guru memperkenalkan masalah realistik dalam matematika kepada seluruh siswa serta
membantu untuk memberi pemahaman (setting) masalah. Pada fase ini sebaiknya ditinjau ulang semua konsep-konsep
yang berlaku sebelumnya dan diusahakan untuk mengaitkan masalah yang dikaji saat itu ke pengalaman siswa
sebelumnya
Pada fase eksplorasi, siswa dianjurkan bekerja secara individual, berpasangan atau dalam kelompok kecil. Pada saat
siswa sedang bekerja, mereka mencoba membuat model situasi masalah, berbagi pengalaman atau ide, mendiskusikan
pola yang dibentuk saat itu, serta berupaya membuat dugaan. Selanjutnya dikembangkan strategi-strategi pemecahan
masalah yang mungkin dilakukan berdasarkan pada pengetahuan informal atau formal yang dimiliki siswa. Di sini guru
berupaya meyakinkan siswa dengan cara memberi pengertian sambil berjalan mengelilingi siswa, melakukan
pemeriksaan terhadap pekerjaan siswa, dan memberi motivasi kepada siswa untuk giat bekerja. Dalam hal ini, peranan
guru adalah memberikan bantuan seperlunya kepada siswa yang memerlukan bantuan. Bagi siswa yang berkemampuan
tinggi, dapat diberikan pekerjaan yang lebih menantang yang berkaitan dengan masalah.
Pada fase meringkas, guru dapat mengawali pekerjaan lanjutan setelah siswa menunjukkan kemajuan dalam
pemecahan masalah. Sebelumnya mendiskusikan pemecahan-pemecahan dengan berbagai strategi yang mereka
lakukan. Dalam hal ini, guru membantu siswa meningkatkan kinerja matematika secara lebih efisien dan efektif. Peranan
siswa dalam fase ini sangat penting seperti: mengajukan dugaan, pertanyaan kepada yang lain, bernegosiasi, alternatifalternatif
pemecahan masalah, memberikan alasan, memperbaiki strategi dan dugaan mereka, dan membuat
keterkaitan. Sebagai hasil dari diskusi, siswa diharapkan menemukan konsep-konsep awal/utama atau pengetahuan
matematika formal sesuai dengan tujuan materi. Dalam fase ini guru juga dapat membuat keputusan pengajaran yang
memungkinkan semua siswa dapat mengaplikasikan konsep atau pengetahuan matematika formal.
duniaguru.com
http://duniaguru.com Powered by Joomla! Generated: 26 December, 2008, 07:47
2.3 Strategi Pendidikan Matematika Realistik di Indonesia
Selter dalam Zuklardi (2001) menekankan bahwa semua aktivitas PMR dimediasi melalui guru, khususnya melalui
teacher's beliefs tentang bagaimana mengorganisir dan memfasilitasi murid belajar matematika. Dalam konteks ini,
LPTK (pre-service atau in-service) memainkan peranan penting. Salah satu strategi kunci dalam situasi ini adalah
melibatkan mereka, guru atau calon guru, dalam pengembangan profesi mereka (professional development)
menggunakan strategi berikut: (1) kuliah alau training singkat (untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan guru
atau calon guru), (2) pengembangan kurikulum (dengan mengadaptasi materi pembelajaran inovasi langsung ke kelas
atau sekolah); dan (3) teknologi (untuk menyediakan media infonnasi yang kaya dan pendekatan baru itu).
2.4 Kurikulum PMR Pendidikan Matematika Realistik mulai diperkenalkan dalam dunia pendidikan matematika di
Indonesia, yang tidak lain merupakan pengembangan gagasan pemikiran dari Freudenthal (1905-1990). Ide penerapan
PMR pertama kali diperkenalkan di Negeri Belanda sekitar tahun 1970 oleh Institut Freudenthal, yang mengacu pada
pemikiran Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan
aktivitas manusia. Ini bermakna bahwa, matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata
sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti, manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan
kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilakukan melalui
penjelajahan berbagai situasi dan masalah-masalah realistik. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak hanya mengacu
pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000).
Pertanyaan mendasar yang ingin dikemukakan adalah “bagaimana memperkenalkan PMR kepada guru-guru di
sekolah dan bagaimana upaya pengimplementasiannya secara efektif di sekolah?”
Menurut Hadi (2001), pertanyaan tersebut menyangkut pendesainan program pengembangan profesional guru, dan
sebagai konsekuensinya perlu disediakan materi kurikukum yang berbasis PMR sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari program tersebut. Persoalannya kemudian adalah masih belum tersedia materi kurikulum yang berbasis PMR dan
relevan dengan kurikulum yang saat ini berlaku. Berkaitan dengan hal tersebut ada dua altematif, yaitu apakah
mengembangkan sendiri materi kurikulum PMR dengan konteks Indonesia atau mengadaptasi materi PMR yang sudah
ada dengan menyesuaikan konteksnya dengan konteks Indonesia. Mengingat keterbatasan waktu dan tenaga, yang
relevan adalah mengadaptasi. Materi PMR yang dipilih diambil dari MiC (Mathematics in Contect) yaitu materi PMR
untuk kelas 5/6 s.d. 8/9 yang dikembangkan oleh University of Wisconsin dan Institut Freudenthal. Pertanyaanpertanyaan
operasional berikutnya adalah: (1) Dalam konteks Indonesia, bagaimanakah mengadaptasi materi PMR dari
MiC? (2) Dalam implementasinya, bagaimanakah mengenalkan PMR kepada guru matematika? (3) Upaya pengelolaan
yang bagaimana seharusnya dilakukan dalam mempersiapkan guru agar mampu mengajarkan PMR secara tepat dan
efektif di sekolah?
Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut di atas, kiranya dibutuhkan pemikiran yang lebih luas dan usaha yang tepat
dalam mempersiapkan kurikulum PMR yang sesuai untuk kondisi pedidikan dan budaya masyarakat di Indonesia. Dalam
hal ini PMR merupakan teori baru bagi sebagian besar orang di Indonesia, terutama para guru.
Pada dasarnya guru-guru matematika, dapat dikategorikan sebagai kelompok yang tidak memiliki ide atau pengertian
apapun tentang PMR. Oleh karena itu, tidak rasional mengharapkan mereka terlalu dini mampu menerapkan PMR di
kelas sebelum mereka mengenal secara baik apa dan bagaimana PMR itu.
Menurut Sembiring (2001) dalam RME permasalahan disajikan sedemikian rupa sehingga dimungkinkan muncul
beberapa alternatif pemecahan soal. Dengan demikian diharapkan para siswa, atau kelompok siswa, datang dengan
berbagai alternatif pemecahan soal. Ini mendorong adanya diskusi. Cara kerja seperti ini akan menumbuhkan percaya
diri dan sekaligus menanamkan prinsip demokrasi pada diri siswa. Jadi melalui RME kita menanamkan pemahaman
demokrasi.
Menurut Soedjadi (1994) bahwa kurikulum matematika yang ada sekarang ini jelas terlihat penekanannya terletak
kepada apa yang harus diajarkan, tetapi kurang mengarahkan kepada bagaimana megajarkan materi ajaran itu. Pada
dasarnya kurikulum dibuat untuk dapat memenuhi tuntutan kehidupan maupun tuntutan perkembangan ilmu yang
demikian pesat serta perkembangan teknologi yang sudah langsung mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Tidak dapat
dipungkiri bahwa kedudukan matematika realistik dalam perkembangan suatu bangsa di masa depan akan semakin
penting, baik dalam makna formal (penataan nalar dan pembentukan sikap mental) maupun dalam makna material
(terutama penggunaan matematika realistik). Perkembangan ilmu dan teknologi semakin menuntut pemilihan materi
matematika yang tepat untuk melayaninya. Ini jelas menuntut fleksibilitas kurikulum. Dalam pada itu kurikulum sekolah di
suatu negara dapat melepaskan diri dari keadaan nyata lingkungan masyarakat negara itu. Indonesia yang satu tetapi
bineka ini memerlukan kurikulum yang tidak melupakan mereka yang terbelakang sekaligus tidak membiarkan Indonesia
selalu tertinggal. Perlu pola kurikulum PMR yang berani jauh ke depan tanpa selalu tertinggal. Perlu pola kurikulum yang
berani jauh ke depan tanpa melupakan kenyataan yang kini ada. Memperhatikan hal-hal tersebut maka kurikulum
matematika realistik sekolah di Indonesia harus diorientasikan kepada upaya mengangkat keterbelakangan dan
mengejar ketertinggalan.
Mengapa kurikulum PMR perlu diorientasikan kepada upaya itu? Memperhatikan pengalaman, pengamatan dan hasil
penelitian sporadis, jelas terlihat bahwa ada wilayah/sekolah yang sudah siap untuk cepat maju tetapi juga ada
wilayah/sekolah yang memang secara nyata belum siap untuk maju cepat. Kenyataan demikian memerlukan rumusan
kemampuan, yang perlu sesuai dengan lingkungan yang menuntut tingkah penalaran yang beragam. Berikut ini
dikemukakan bagaimana orientasi kurikulum matematika sekolah itu perlu dijabarkan secara lebih jelas.
Organisasi kurikulum atau bentuk kurikulum menentukan bahan pelajaran, urutan, dan cara penyampaiannya kepada
siswa. Subjek berarti pengalaman manusia yang disususn secara logis dan sistematis, atau diartikan juga mata
pelajaran. Subjek kurikulum adalah bentuk kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran.
duniaguru.com
http://duniaguru.com Powered by Joomla! Generated: 26 December, 2008, 07:47
Apabila kurikulum matematika realistik itu dipandang sebagai suatu sistem, maka kurikulum matematika mempunyai 4
komponen utama yakni: (1) tujuan, (2) kegiatan atau pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tersebut, (3)
pengetahuan, yakni bahan pelajaran matematika realistik yang diperoleh dan digunakanan dalam proses belajar, dan (4)
penilaian atau evaluasi hasil belajar matematika realistik yang gunanya untuk mengetahui hingga mana tujuan itu
tercapai.
Keempat komponen tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Tujuan yang telah ditetapkan itu
menentukan bahan pelajaran apa yang harus dipilih yang dapat membawa siswa ke arah tujuan yang ditentukan. Bahan
pelajaran matematika menentukan kegiatan belajar matematika yang harus dialami siswa. Jadi lebih dahulu harus
dirumuskan tujuan, barulah kemudian bahan pelajaran matematika dan kegiatan belajarnya. Tujuan juga menentukan
penilaian, apa yang dinilai dalam matematika dan bagaimana cara menilainya. Menilai pengetahuan matematika tidak
sama caranya dengan menilai sikap atau keterampilan. Yang dinilai bukan hanya tujuan, melainkan juga bahan
pelajaran dan kegiatan belajar. Jika komponen tujuan tidak tercapai, mungkin kesalahannya terletak pada komponenkomponen
lainnya.
Dalam pembelaajran matematika realistik harus diperhatikan keseimbangan antara kononen-komponen itu. Pada
experince atau capacity curriculum misalnya, terlampau mengutamakan kegiatan atau pengalaman belajar dan kurang
mementingkan unsur pengetahuan, sedangkan subject curriculum mengutamakan aspek pengetahuan dan kurang
mementingkan kegiatan atau pengalaman belajar. Gambaran komponen tujuan ini sebagai berikut.
Kurikulum PMR tidak hanya mengenai bagaimana mengorganisasikan dan mengintegrasikan bahan pelajaran
matematika realistik itu sendiri, tetapi juga penilaian terhadap hasil diagnosis mengenai kelemahan atau kekuatan
komponen-komponen kurikulum, sehingga dapat diketahui komponen mana yang perlu diperbaiki, misalnya mengajar,
dan bahan pelajaran tidak sesuai dengan tingkat kematangan siswa.
Salah satu unsur pokok dalam pengajaran matematika realistik adalah matematika itu sendiri. Guru matematika realistik
harus mengetahui objek yang akan diajarkan yaitu matematika secara umum yang bersifat nyata. Apakah matematika
itu? Matematika adalah pengetahuan mengenai kuantitatif dan ruang, salah satu cabang dari sekian banyak cabang
ilmu, yang sistematis, teratur dan eksak. Matematika adalah angka-angka dan perhitungan yang merupakan bagian dari
kehidupan manusia. Matematika menolong manusia menafsirkan secara eksak berbagai ide dan kesimpulankesimpulan.
Matematika adalah pengetahuan atau ilmu mengenai logika dan problem-problem numerik Matematika
membahas fakta-fakta dan hubungan-hubungannya, serta membahas problem ruang dan bentuk.
Matematika adalah queen of science (ratunya ilmu). Walau reputasinya tidak bernoda dalam hal metode, validitas dan
logikanya, namun masih mempunyai problem dalam hal dasar logika. Matematika hanya dikembangkan secara sebagiansebagian
dan terus menerus mengalami perubahan, baik metode maupun isinya. Walaupun matematika jauh lebih eksak
dari ilmu-ilmu sosial, dan lebih eksak dari ilmu-ilmu fisik, matematika tidaklah eksak secara absolut. Bagi seseorang yang
telah diindoktrinasi dalam hal kebenaran absolut dan kesempurnaan matematika, jika melakukan studi tentang ahli-ahli
dan sejarah matematika, bisa kehilangan harapan, tetapi bisa menemukan cahaya terang.
Orientasi pengajaran matematika kita saat ini cenderung sangat prosedural. Secara gamblang seorang guru
menyatakan bahwa selama ini mereka (para guru matematika) mengajarkan siswa-siswa menghafalkan rumus-rumus
atau prosedur matematik tertentu. Kehadiran PMR dirasakan dapat memperbaiki kondisi tersebut, yaitu mengubah
pendekatan yang kering dan mekanistik menjadi lebih menyenangkan dan bermakna baik bagi guru maupun para siswa.
Agar pembelajaran bermakna bagi siswa maka pembelajaran seyogianya dimulai dengan masalah-masalah yang
realistik. Kemudian siswa diberi kesempatan menyelesaikan masalah itu dengan caranya sendiri dengan skema yang
dimiliki dalam pikirannya. Artinya siswa diberi kesempatan melakukan refleksi, interpretasi, dan mencari strateginya yang
sesuai. Keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika haruslah dipahami sebagai keaktifan melakukan matematisasi
baik horizontal maupun vertikal, yang memuat kegiatan refleksi dan tidak serta merta siswa telah melakukan aktivitas
konstruksi. Rekonstruksi terjadi bila siswa dalam aktivitsnya melakukan refleksi, interpretasi, dan internalisasi.
Rekonstruksi itu dimugkinkan terjadi dengan probabilitas yang lebih besar melalui diskusi, baik dalam kelompok kecil
maupun diskusi kelas atau berbagai bentuk interaksi dan negosiasi. Guru membimbing mereka untuk menarik
kesimpulan bagi diri masing-masing-masing. Secara perlahan siswa dilatih untuk melakukan rekonstruksi atau
reinvention. Mula-mula matematisasi berlangsung secara horizontal dan dengan bimbingan guru siswa melakukan
matematisasi vertikal (Marpaung: 2001).
2.5 Mempersiapkan Materi Kurikulum PMR
Penerapan PMR secara tepat guna di lapangan tidak dapat dilaksanakan tanpa dukungan dan ketersediaan materi
kurikulum berbasis PMR. Untuk itu diperlukan materi kurikulum dengan konteks Indonesia.
Menurut Hadi (2001) mengembangkan sendiri materi kurikulum PMR dengan konteks Indonesia akan memakan waktu
yang panjang karena harus melalui rangkaian: (1) olah fikir (pengembang mendesain materi PMR yang relevan dengan
kurikulum yang berlaku); (2) ujicoba dengan kelompok kecil siswa (oleh pengembang sendiri); (3) revisi berdasarkan
hasil uji coba skala kecil; (4) uji coba oleh guru di kelas; dan (5) revisi berdasarkan hasil uji coba di kelas.
Apabila rangkaian evaluasi dan revisi terhadap draft materi kurikulum PMR tersebut dilaksanakan secara baik, akan
menghasilkan materi yang userfriendly baik bagi siswa maupun guru. Walaupun demikian, ini tidak menjamin bahwa
materi tersebut akan mendorong peningkatan prestasi siswa dalam belajar matematika. Ini akan dibuktikan setelah guru
dan siswa menggunakan materi tersebut dalam jangka waktu tertentu.
Berkaitan dengan pengembangan materi kurikuluni PMR beberapa hal berikut perlu mendapat perhatian: (1) konteks
yang dipilih harus dikenal baik oleh siswa; (2) bahasa yang digunakan harus sederhana dan jelas; dan (3) gambar harus
mendukung konsep.
Apabila upaya mengembangkan sendiri materi kurikulum PMR dianggap tidak efisien dalam jangka pendek, dapat
duniaguru.com
http://duniaguru.com Powered by Joomla! Generated: 26 December, 2008, 07:47
dilakukan adaptasi terhadap materi PMR yang sudah ada. Ini jauh lebih mudah dibanding mengembangkan sendiri.
Namun beberapa hal berikut perlu mendapat perhatian:
(1) Tidak setiap konteks dapat langsung diadopsi, mengingat perbedaan budaya dan pengalaman siswa kita dengan
siswa luar negeri. Bahkan untuk konteks yang sudah dikenal siswa, pengalaman sebelumnya tentang konteks tersebut
dapat mempenganthi mereka dalam menyelesaikan soal.
(2) Apabila konteks yang ingin diadaptasi dirasakan oleh pengembang cukup dikenal, persoalan selanjutnya adalah
pengadaptasian dan penerjemahan soal yang menyertai konteks tersebut. Penerjemahan dari bahasa asing ke dalam
bahasa Indonesia harus menyampaikan pesan yang sama agar tidak membingungkan.
(3) Sedapat mungkin konteks dapat menjelaskan pesan yang ingin disampaikan tanpa penjelasan lisan. Hal ini terutama
penting untuk ukuran kelas yang besar (40 s.d. 45 siswa per kelas). Karena kalau konteks masih memerlukan
penjelasan lisan dari guru akan memakan waktu yang lama sebelum siswa-siswa siap bekerja menyelesaikan soal
dalam materi kurikulum (buku siswa).
(4) Gambar dapat mempengaruhi siswa. Beberapa siswa menggunakan/menafsirkan gambar untuk menyelesaikan soal.
Karena penafsiran yang keliru terhadap gambar yang menyertai soal, jawaban siswa menjadi salah.
2.6 Panguasaan Materi Ajar PMR
Menurut Putman (1987), tujuan pengajaran matematika adalah pencapaian transfer belajar. Salah satu aspek penting
dalam pencapaian transfer belajara matematika itu agar siswa menguasai konsep-konsep matematika, dan keterampilan
PMR sehingga dapat diaplikasikan dalam pemecahan masalah. Dari semua aspek yang telah dikemukakan di atas,
tidaklah mengherankan jika dijumpai kenyataan bahwa penguasaan materi ajar PMR dari peserta didik masih perlu
dikemas dengan lebih menarik. Lebih dari itu, adanya kenyataan bahwa peserta didik tidak mampu menyelesaikan soal
atau masalah yang sedikit saja keluar dari kurikulum atau dari buku paket. Menurut Soejadi (1992) bahwa kelemahan
bermatematika siswa di jenjang SD yang sering diungkapkan oleh beberapa pihak, antara lain: (1) tidak dapat dengan
cepat mengerjakan perkalian,dan pembagian; (2) mengerjakan pecahan; (3) memahami geografi; (4) menyelesaikan
soal ceritera
Kelemahan-kelemahan tentang hal-hal yang mendasar di SD berpengaruh terhadap panguasaan materi ajar di SLTP
dan juga di SMU; selanjutnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan kemampuan melakukan analisis. Penguasaan
materi ajar yang tidak mantap mengakibatkan gejala umum yaitu terlupakan dalam satu minggu.
Menurut Suharta (2001), dalam pengajaran matematika realistik dibutuhkan upaya: (1) penemuan kembali terbimbing
dan matematisasi progresif; (2) fenomena didaktik; dan (3), mengembangkan model-model sendiri.
Dalam hal pertama, pembelajaran matematika realistik harus diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk
mengalami sendiri proses penemuan matematika. Prinsip ini dapat memberikan inspirasi yang menerapkan prosedur
pemecahan informal, di mana melalui matematisasi, siswa harus diberikan kesempatan untuk melakukan proses
penemuan kembali (reinvention) konsep-konsep matematika yang telah dipelajarinya. Hal ini dapat dicapai bilamana
pengajaran matematika realistik yang dilakukan menggunakan situasi yang kondusif berupa fenomena-fenomena yang
mengandung konsep matematika realistik bagi siswa.
Dalam hal kedua, pembentukan situasi dalam pemecahan masalah matematika realistik harus menetapkan aspek
aplikasi, dan mempertimbangkan pengaruh proses dari matematisasi progresif. Dalam hal ini siswa akan menggunakan
pengetahuan matematika informal yang mereka miliki untuk memecahkan masalah matematika realistik yang mereka
hadapi. Strategi-strategi informal yang dikemukakan siswa akan bervariasi, dan dengan demikian strategi-strategi
informal yang diberikan oleh guru tidak sama dengan yang dikemukakan siswa, berarti akan ada peningkatan
pengetahuan bagi siswa. Seorang guru matematika harus mampu mengakomodasi strategi-strategi informal yang
dikemukakan oleh siswa dan dipergunakan sebagai alat untuk menuju pengetahuan matematika formal.
Dalam hal ketiga, pemecahan masalah matematika realistik harus mampu dijembatani melalui pengembangan modelmodel
yang diciptakan sendiri oleh siswa dari yang konkrit menuju situasi abstrak, atau dari pengetahuan matematika
informal ke bentuk pengetahuan matematika formal. Artinya, model yang diciptakan sendiri oleh siswa untuk
memecahkan masalah yang mampu menciptakan kreasi dalam kepribadian siswa melalui aktivitas di bawah bimbingan
guru. Melalui matematisasi horizontal, model tentang masalah berubah menjadi model untuk pengetahuan matematika
formal, dan melalui matematisasi vertikal berubah menjadi model pengetahuan matematika formal.
Menurut Suwarsono (2001), kekuatan-kekuatan yang diperlukan untuk mengatasi kerumitan mengimplementasikan PMR
di sekolah antara lain:
(1) Pemahaman tentang PMR dan upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan paradigma, yaitu
perubahan pandangan yang sangat mendasar, mengenai berbagai hal, misalnya mengenai siswa, mengenai guru,
mengenai peranan soal, peranan konteks, peranan alat peraga (manipulative materials), pengertian belajar, dan lain-lain.
(2) Pencarian soal-soal yang kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh PMR tidak selalu mudah untuk
setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut masing-masing harus dapat
diselesaikan dengan bermacam cara.
(3) Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan setiap soal juga merupakan
tantangan tersendiri.
(4) Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa, dengan melalui soal-soal yang kontekstual, proses matematisasi
horisontal, dan proses matematisasi vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan
mekanisme berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan
kembali terhadap konsep-konsep matematika tertentu. Dalam hal ini diperlukan microdidaktics.
(5) Pemilihan alat-alat peraga harus cermat, agar alat peraga yang dipilih bisa membantu proses berpikir siswa sesuai
dengan tuntutan PMR.
duniaguru.com
http://duniaguru.com Powered by Joomla! Generated: 26 December, 2008, 07:47
(6) Penilaian dalam PMR lebih rumit daripada dalam pembelajaran yang konvensional (Lihat Verhage & de Lange, 1996).
(7) Kepadatan materi pembelajaran dalam kurikulum perlu dikurangi secara substansial, agar proses pembelajaran
siswa bisa berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip PMR.
2.7 Matematisasi Horizontal dan mateamtisasi Vertikal dan kaitannya dengan Berpikir Lateral dan Berpikir Vertikal
Dalam pengajaran matematika realistik ini dapat dilakukan dua pendekatan yaitu melalui matematisasi horizontal dan
vertikal (Treffers:1991). Ia mengatakan sebagai berikut: “Matematisasi horizontal adalah pemodelan situasi
masalah yang dapat didekati dengan makna matematika. Atau dengan kata lain: menggiring dari dunia yang dirasakan
kepada dunia lambang. Sepanjang pembagian tersebut kita mengamati bahwa dalam dunia konkrit berupa dunia yang
dirasakan, hal tersebut bukan suatu indikasi tingkat kemutlakan tetapi sesuatu yang bersifat relatif. Misalnya, dari bagianbagian
dunia lambang dapat menjadi bagian dari dunia yang dapat dirasakan, dan dalam kenyataannya dapat bersifat
pribadi. Matematisasi vertikal diarahkan pada perluasan dan bangunan keterampilan dan pengetahuan yang dirasakan
di dalam sistem materi pokok yang terdapat dalam dunia lambang”.
Sementara menurut de Lange (1996), matematisasi horizontal mencakup: proses informal siswa untuk menyelesaikan
sebuah soal, membuat model matematika, melakukan translasi antara modus yang ditampilkan, membuat skema,
menemukan hubungan, dan lain-lain. Sedang matematisasi vertikal mencakup: proses menyatakan suatu hubungan
dengan suatu formula, pembuktikan keteraturan, mendesain model, merumuskan konsep baru, melakukan generalisasi,
dan sebagainya. Untuk menyelesaikan berbagai persoalan matematika realistik, prosedurnya dapat digambarkan
sebagai berikut:
Contoh matematisasi horizontal adalah: pengidentifikasian, perumusan dan pemvisualisasian masalah dalam cara-cara
yang berbeda, pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematika.
Contoh matematisasi vertikal adalah perepresentasian hubungan-hubungan dalam rumus, penghalusan dan
penyesuaian model matematika, penggunaan model-model yang berbeda, perumusan model matematika dan
penggeneralisasian. Kedua jenis matematisasi memiliki nilai yang sama dalam PMR (Valden Heuvel-Panheuizen, dalam
Suharta: 2001), dan hal ini digambarkan sebagai berikut:
Dalam PMR kedua jenis matematisasi tersebut berkaitan dengan cara berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah
matematika. Kedua pemikiran itu disebut sebagai berpikir lateral dan berpikir vertikal. Perbedaan kedua cara berpikir itu,
menurut de Bono (1987) adalah sebagai berikut: Yang menjadi permasalahan dalam berpikir vertikal adalah kebenaran,
sedangkan yang menjadi permasalahan dalam berpikir lateral adalah kekayaan ragam pemikiran. Berpikir vertikal
menyeleksi jalur jalan dengan menyampingkan jalur jalan lainnya. Sebaliknya, berpikir lateral tidak menyeleksi tetapi
berupaya merintis jalur jalan lainnya. Dalam berpikir vertikal kita memilih pendekatan yang paling memberi harapan pada
suatu masalah, cara terbaik untuk mencari suatu situasi. Dalam berpikir lateral kita sedapat-dapatnya mengembangkan
sebanyak mungkin pendekatan alternatif. Dengan berpikir vertikal kita mencari berbagai pendekatan sampai
menemukan pendekatan yang memberi harapan. Dengan berpikir lateral kita berupaya mengembangkan terus sebanyak
mungkin pendekatan, bahkan setelah kita menemukan sesuatu yang memberi harapan. Dengan berpikir vertikal kita
mencoba memilih pendekatan yang terbaik, tetapi dengan berpikir lateral kita mengembangkan berbagai pendekatan
demi pengembangan pendekatan. Dengan berpikir vertikal, kita bergerak ke suatu arah yang sudah ditetapkan dengan
jelas ke arah pemecahan masalah. Kita menggunakan beberapa pendekatan yang nyata atau beberapa teknik yang
nyata. Dengan berpikir lateral kita bergerak demi gerakan itu sendiri.
2.8 Kekuatan dan Kelemahan Matematika Realistik
Mengungkap berbagai kekurangan sama artinya mengemukakan berbagai kelemahan yang muncul di depan mata kita,
sebagai suatu kenyataan apa adanya, hal ini bukan berarti bahwa pembelajaran matematika yang telah berjalan pada
kurun waktu yang lampau secara mutlak dipersalahkan atau sama sekali tidak memberi manfaat secara nyata kepada
peserta didik. Namun, pemaparan berbagai kelemahan itu lebih diartikan sebagai titik tolak untuk mengambil tindakan
positip sebagai upaya memberikan antisipasi berupa tindakan konkrit bertahap yang harus ditempuh selama
pelaksanaan pembelajaran di kelas.
Menurut Mustaqimah (2001) keunggulan dan kelemahan PMR adalah sebagai berikut:
Keunggulan
Kelemahan
1. Karena siswa membangun sendiri pengetahuannya maka siswa tidak mudah lupa dengan pengetahuannya
2. Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan realitas kehidupan, sehingga siswa tidak
cepat bosan untuk belajar matematika
3. Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban siswa ada nilainya
4. Memupuk kerja sama dalam kelompok
5. Melatih keberanian siswa karena harus menjelaskan jawabannya
6. melatih siswa untuk terbiasa berpikir dan mengemukakan pendapat
7. Pendidikan budi pekerti, misalnya: saling kerja sama dan menghormati teman yang sedang berbicara
1. Karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih kesulitan dalam menemukan sendiri
jawabannya
2. Membutuhkan waktu yang lama terutama bagi siswa yang lemah
duniaguru.com
http://duniaguru.com Powered by Joomla! Generated: 26 December, 2008, 07:47
3. Siswa yang pandai kadang-kadang tidak sabar untuk menanti temannya yang belum selesai
4. Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu
5. Belum ada pedoman penilaian, sehingga guru merasa kesulitan dalam evaluasi/memberi nilai
2.9 Problem Solving Matematika Realistik
Dalam pembelajaran matematika realistik, salah satu hal yang penting dikuasai oleh seorang guru adalah bagaimana
siswa mampu memecahkan masalah matematika yang sedang dihadapinya. Menurut Hudoyo (1981), pengajaran
matematika akan dapat berlangsung efektif jika guru yang mengajarkan matematika memiliki keterampilan dalam proses
pengerjaan matematika di kelas. Penyelesaian masalah dalam matematika realistik tidak terlepas dari bagaimana
strategi belajar mengajar menyelesaikan masalah (problem solving) yang senantiasa muncul di kelas. Mungkin
mengherankan untuk diketahui bahwa dalam mempelajari sifat-sifat masalah sedikit kegunaannya dalam menjelaskan
pengertian problem (masalah). Pengertian problem terdapat dalam sikap orang menghadapi situasi yang mungkin
merupakan problem atau bukan problem bagi mereka.
Namun demikian, apakah situasi tertentu dalam matematika realistik itu merupakan problem atau bukan bagi seorang
siswa, tergantung pada bagaimana siswa menghadapi situasi itu. Dengan demikian dapat kita definisikan problem itu
sebagai berikut: suatu situasi merupakan suatu problem bagi seseorang, jika orang itu menyadari eksistensinya situasi
itu, perlu menghendaki tindakan, dia mau atau perlu bertindak, dia melakukan tindakan, dan dia tidak segera mampu
menyelesaiakan problem itu. Dengan demikian problem solving dalam matematika adalah penyelesaian dari satu situasi
dalam matematika yang dipandang sebagai satu peroblem matematika (Murtadho dan Tambunan: 1987).
Apabila definisi problem di atas dipertahankan, maka himpunan soal-soal latihan matematika realistik di sekolah harus
diberi nama soal-soal latihan (exercises), bukan problem. Dalam hal ini, apakah soal-soal latihan matematika itu
merupakan problem atau tidak, bergantung bagaimana siswa memandangnya dan tergantung pula bagaimana dia
menyelesaikannya.
Yang perlu kita kritisi adalah kebanyakan soal-soal latihan dalam buku-buku teks matematika dirancang untuk latihan
(drill) dan praktek rutin, walau banyak dari latihan dan praktek itu (tentu yang lebih sulit) benar-benar merupakan problem
bagi hampir semua siswa. Di samping itu, tidak terlalu penting jika latihan, soal latihan, dan praktik itu disebut problem
dan prosedur penyelesaiannya disebut keterampilan problem solving. Bagaimanapun juga, yang terpenting adalah guru
matematika dan siswa mengetahui perbedaan antara belajar keterampilan matematika dengan menyelesaiakan soalsoal
latihan dan belajar pendekatan umum terhadap problem solving matematika realistik dengan cara menyelesaiakan
situasi yang benar-benar merupakan problem.
Secara umum para guru matematika percaya bahwa problem solving adalah aktivitas instruksional yang sangat penting
dalam pengajaran matematika realistik, sebab tujuan belajar (learning objective) yang melalui penyelesaian problem dan
melalui belajar prosedur problem solving umum, sangat nyata pentingnya dalam masyarakat. Penemuan-penemuan
penelitian menunjukkan bahwa strategi umum problem solving yang dipelajari dalam kelas matematika, dapat ditransfer
dan digunakan ke situasi problem solving lainnya. Prinsip-prinsip yang dipelajari dan diaplikasikan dalam problem solving
lebih banyak kemungkinannya ditransfer ke situasi problem solving lainnya daripada prinsip-prinsip yang tidak
diaplikasikan dalam penyelesaian problem-problem.
Problem solving matematika realistik dapat menolong siswa meningkatkan kemampuan menganalisis dan dapat
menolong mereka menggunakan kemampuan ini dalam situasi berbeda-beda. Penyelesaian problem dapat juga
menolong siswa belajar fakta matematika keterampilan konsep dan prinsip-prinsip dengan mengilustrasikan pemakaian
objek-objek matematika realistik dan interelasi objek-objek itu.
Karena problem solving adalah aktivitas yang mempesonakan hampir semua siswa, maka penyelesaian problem dalam
pelajaran matematika realistik dapat meningkatkan motivasi, yaitu dapat membuat matematika realistik lebih menarik
siswa. Akan tetapi problem solving dapat pula menurunkan motivasi, jika kecepatan, ketepatan, format, kenecesan, dan
mencari jawaban yang benar, menjadi tujuan pengajaran problem solving di sekolah. Problem solving itu sulit dan dapat
memfrustasikan siswa jika guru tidak menunjukkan kesabaran, pengertian, dan memberikan esistensi yang tidak
mendorong siswa. Apabila guru mengerjakan problem solving dengan menciptakan lingkungan kelas yang
menyenangkan dan mendukung, siswa dapat merasakan kepuasan mencari penyelesaian yang kreatif dan asli dari
problem-problem matematika realistik tersebut.
Problem solving adalah proses dasar dalam matematika realistik dan merupakan sebagian karya para matematikawan
yang jumlahnya banyak sekali. Oleh karena itu, siswa dapat mempelajari hakikat metematika dan aktivitas pakar
matematika lebih baik, jika mereka menyelesaikan problem matematika secara realistik. Karena meneruskan warisan
kebudayaan adalah tujuan yang penting dari sistem pendidikan, maka objek (fakta, keterampilan, konsep, prinsip-prinsip)
dan metode (strategi problem solving) matematika realistik, yang merupakan bagian yang penting dari warisan ini harus
diteruskan kepada siswa.
Problem dapat berasal dari berbagai sumber. Banyak problem yang dapat dikembangkan dari buku-buku teks yang
sedang dipelajari. Yang lain dapat dikembangkan dari model-model situasi hidup di luar kelas. Yang lain lagi, dapat
dikembangkan melalui penelitian berbagai keingintahuan akan matematika atau teka-teki matematika yang bersifat
reaksional. Pengembangan problem matematika ini dapat dilakukan dengan cara: (1) mengembangkan problem dari
materi dasar, (2) mengembangkan problem dengan teknik variasi, (3) pengembangan problem dari situasi hidup, dan (4)
mengembangkan problem dari keingintahuan dan teka-teki matematika.
3. Simpulan
Dari kajian di atas disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
duniaguru.com
http://duniaguru.com Powered by Joomla! Generated: 26 December, 2008, 07:47
(1) Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) menerapkan pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi
pada pematematisasian pengalaman hidup sehari-hari dan mengaplikasikannya dalam dua real yang ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari.
(2) PMR berdasarkan pada ide teori Real Mathematics Educatiom (RME) yang menerapkan konteks dunia real, dan
menggunakan model matematika, memproduksi hasil dan mengembangkan kemampuan siswa melalui interaksi guru
dengan cara yang ramah, dan bersifat komunikatif.
(3) Model PMR akan membantu siswa membentuk sendiri pemahaman matematikanya dengan bantuan guru.
(4) Untuk melakukan perubahan pada diri siswa guru harus ikut melakukan perubahan dalam kepribadiannya, serta
pengetahuan guru tentang alur belajar siswa juga harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
(5) Kita harus mampu menyiapkan materi kurikulum PMR yang memenuhi standar kualitas sebagaimana yang tercermin
dalam ajaran-ajaran PMR, dan tidak sepadat materi yang terdapat dalam kurikulum sekarang ini.
(6) PMR akan lebih efektif diterapkan pada kelas yang tidak terlalu besar, berkisar 25-30 siswa yang ada di dalamnya.
(7) Pendekatan realistik yang menuntut kontribusi siswa, seyogianya memberi kesempatan bagi siswa untuk melakukan
refleksi, sementara guru harus berperan sebagai model dalam merefleksi yang dilakukan secara efektif dan konsisten.
Pustaka Acuan
De Bono, Edward. 1987. Berpikir Lateral. Buku Teks Kreativitas. Jakarta: Erlangga
De Lange, J. 1996. “Using Applying Mathematics in Education: Dalam International Handbook of Mathematics
Education, Part One, Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
--------------. 1997. Mathematics, insight and meaning. Utrecht: OW & OC.
Freudenthal, H. 1991. Revisiting mathematics education. China Lectures. Dordrecht: Kluwer
Academic Publisher.
Gravemeijer. 1994. Developing Realictics Mathematics Education. Utrecht: CD-b Press/Freudenthal Institute.
Hadi, Sutarto. 2001. PMRI: beberapa catatan sebelum melangkah lebih jauh. Makalah Seminar Nasional
“Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
Marpaung, Y. 2001. Pendekatan Realistik dan Sani dalam Pembelajaran Matematika. Makalah dalam Seminar Nasional
“Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
Mastiqomah, Siti., Rumgayatri., dan Ratini. 2001. Pengalaman Dalam Melaksanakan Uji Coba Pembelajaran Matematika
Secara realistik di MIN Yogyakarta II. Makalah dalam Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik
Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Murtadho, Sutrisman & Tambunan, G. (1987) Pengajaran Matematika. Jakarta: Karunika.
Putman, Ralp T. 1987. Mathematics Knowledge For Under Standing And Problem Solving. International Journal Of
Educational Research. 11. (16). P. 67-70
Sembiring, R. K. 2001. Mengapa Memilih RME/PMRI. Makalah dalam Seminar Nasional “Pendidikan matematika
realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Slettenhaar. 2000. “Adapting Realistic Mathematics Education in the Indonesian Context.” Dalam Majalah
Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional Matematika X ITB, 17-20 Juli 2000).
Soedjadi. 1994 Orientasi Kurikulum Matematika Serkolah di Indonesia Abad 21. pada Konvensi Nasional Pendidikan
Indonesia II. Jakarta: Grasindo.
----------. 2001. Pembelajaran Matematika Berjiwa RME (suatu pemikiran rintisan ke arah upaya baru). Makalah dalam
Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Suyatno, M. 1988. “Minat siswa terhadap matematika perlu ditumbuhkan”. Jakarta: Kompas. Tanggal 1
Februari
Syarien, Syafrinal. 1991. “Ada Gejala ‘matematika phobia”. Hasil Konferensi Nasional Matematika
IV di Universitas Indonesia..” Bandung: Pikiran Rakyat tanggal 15 Juli
Undng-Undang Sistem Pedidikan Nasional (UU RI Nomor 2 Tahun 1989) dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Sinar
Grafika,
Zulkardi. 2001. Efektiviitas Ligkungan Belajar Berbasis Kuliah Singkat dan Situs Web sebagai suatu Inovasi Dalam
Menghasilkan Guru RME di Indonesia. Makalah disajikan pada seminar nasional “Pendidikan matematika realistik
Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
TIMSS. 1999. International Students Achievement in Mathematics. http://timss:bc.edu/timss1999i/pdf/T99i math 01.pdf
duniaguru.com
http://duniaguru.com Powered by Joomla! Generated: 26 December, 2008, 07:47