-->

Friday, December 19, 2008

PENDEKATAN REALISTIK pada mata pelajaran MATEMATIKA

A. Pendahuluan

Selama ini masih banyak orang yang menganggap bahwa matematika tidaklah lebih dari sekedar berhitung dan bermain dengan rumus dan angka-angka. Melalui suatu angket yang dilaksanakan oleh Hendra Gunawan (Pikiran Rakyat, 1998, yang dimuat dalam www.geocities.com/ratuilma/linkframeset_indo.htm1 ), ditanyakan kepada sejumlah mahasiswa baru yang pada waktu itu baru saja diterima di Perguruan Tinggi terkemuka di negara kita, “Menurut Anda, matematika itu apa ? “ Jawaban yang diperoleh hampir seragam, yaitu matematika adalah ilmu hitung-menghitung yang senantiasa berurusan dengan rumus dan angka-angka.

Selama ini kita mungkin menerima begitu saja pengajaran matematika di sekolah, tanpa mempertanyakan mengapa atau untuk apa matematika harus diajarkan. Tidak jarang muncul keluhan bahwa matematika cuma bikin pusing siswa (dan juga orang tuanya) dan dianggap sebagai momok yang menakutkan oleh sebagian siswa. Begitu beratnya gelar yang disandang matematika yang membuat kekawatiran pada prestasi belajar matematika siswa. Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi rasa bosan pada matematika adalah faktor penyampaian materi atau metode pembelajaran matematika yang monoton dan itu-itu saja.

Matematika adalah ilmu yang berkembang sejak ribuan tahun lalu dan masih tumbuh subur hingga kini. Tidak mungkin bisa semuanya diajarkan kepada siswa di sekolah. Jadi, seharusnya bukan materi yang kita kejar, tetapi tujuannya. Penting untuk diingat oleh penyusun kurikulum matematika, juga guru di lapangan, agar materi tidak terlalu padat, sehingga siswa punya waktu cukup untuk mengendapkan apa yang telah diperoleh dan mengembangkan kemampuan berpikir secara optimal.

Pada dasarnya, matematika adalah pemecahan masalah karena itu, matematika sebaik -nya diajarkan melalui berbagai masalah yang ada disekitar siswa dengan memperhatikan usia dan pengalaman yang mungkin dimiliki siswa.

Berdasarkan tujuan/keinginan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap matematika dan meminimalkan anggapan-anggapan negatif terhadap matematika yang membuat para ahli pendidikan matematika di Indonesia berupaya mencari terobosan baru menemukan metode pembelajaran matematika lain dengan mengacu pada pengalaman di negara lain dan dengan melihat karakteristik yang dimungkinkan dapat diujicobakan juga di Indonesia.

Ada 3 pendekatan yang cukup mendasar, yaitu “pemecahan masalah” atau “problem solving” yang mendapat keutamaan di Jepang, “contextual teaching and learning” ataupun “connected mathematics” yang mulai dilaksanakan di sebagian Amerika dan “Realistic Mathematics Education” yang sudah melalui proses ujicoba dan penelitian lebih dari 25 tahun di Belanda.(R.Soedjadi,2001).

B. Realistic Mathematics Education

Salah satu faktor penyebab rendahnya pengertian siswa terhadap konsep-konsep mate -matika adalah pola pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Pembelajaran matematika di Indonesia dewasa ini, “dunia nyata” hanya digunakan untuk mengaplikasikan konsep dan kurang mematematisasi “dunia nyata”. Bila dalam pembelajaran di kelas, pengalaman anak sehari-hari dijadikan inspirasi penemuan dan pengkonstruksian konsep (pematematisasian pengalaman sehari-hari) dan mengaplikasikan kembali ke “dunia nyata” maka anak akan mengerti konsep dan dapat melihat manfaat matematika. (I Gusti Putu Suharta, 2001).

Realistic Mathematics Education adalah suatu teori dalam pendidikan matematika yang berdasarkan pada ide bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan matematika harus dihubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari-hari siswa sebagai suatu sumber pengembangan dan sebagai area aplikasi melalui proses matematisasi baik horizontal maupun vertikal. (www.geocities.com/Athens/crete).

Teori Realistic Mathematics Education pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda sejak 31 tahun lalu (sejak tahun 1970) oleh Institut Freudenthal dan menunjuk -kan hasil yang baik, berdasarkan hasil The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2000. (Ahmad Fauzan, 2001).

Menurut Freudenthal (Ahmad Fauzan, 2001), aktivitas pokok yang dilakukan dalam Realistic Mathematics Education meliputi : menemukan masalah-masalah/ soal-soal kontekstual (looking for problems), memecahkan masalah (solving problems), dan mengorganisir bahan ajar (organizing a subject matter). Hal ini dapat berupa realitas-realitas yang perlu diorganisir secara matematis dan juga ide-ide matematika yang perlu diorganisir dalam konteks yang lebih luas. Kegiatan pengorganisasian seperti ini disebut matematisasi.

Dalam Realistic Mathematics Education, siswa belajar mematematisasi masalah-masalah kontekstual. Dengan kata lain, siswa mengidentifikasi bahwa soal kontekstual harus ditransfer ke dalam soal bentuk matematika untuk lebih dipahami lebih lanjut, melalui penskemaan, perumusan dan pemvisualisasian. Hal tersebut merupakan proses matematisasi horizontal. Sedangkan matematisasi vertikal, siswa menyelesaikan bentuk matematika dari soal kontekstual dengan menggunakan konsep, operasi dan prosedur matematika yang berlaku dan dipahami siswa.(Dian Armanto, 2001).

Sehingga dalam matematisasi horizontal berangkat dari dunia nyata masuk ke dunia symbol sedangkan matematisasi vertikal berarti proses/pelaksanaan dalam dunia symbol. (www.geocities.com/ratuilma/rme).

Kedua proses matematisasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (Marpaung,2001)

Advertiser