A. LATAR BELAKANG
Hasil studi dari United Nations for Development Program (UNDP), kualitas sumber daya manusia Indonesia saat ini berada pada peringkat ke-109 dari 174 negara di dunia. Sementara itu, Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thaliland masing-masing berada pada peringkat ke-41 sampai 44. Posisi negara kita bahkan di bawah Vietnam yang baru bangkit karena tekanan tentara Amerika Serikat (Pikiran Rakyat, 3 Januari 2004). Kemudian Menteri Pendidikan Nasional , 2004 menyatakan bahwa hasil studi Internatonal Institute for Management Development (IIMD, 2001) bahwa indeks kompetisi manusia (SDM) Indonesia mendudukkan Indonesia di peringkat ke-49 dari 49 negara. Dan ketika masalah rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia maka muaranya akan selalu menunjuk pada lembaga pendidikan sebagai satu lembaga yang memproduksi ketrampilan dan kemampuan sumber daya manusia.
Misalnya menurut pendapat Us Toharudin (Pikiran Rakyat,edisi 2005) mengemukakan “Disatu pihak kondisi pendidikan kita dipandang sangat memprihatinkan dimana hasil lulusan kita belum seluruhnya memenuhi harapan masyarakat, masih banyak komplain dari masyarakat.”
Memang perkara kualitas dalam pendidikan merupakan salah satu isu utama diantara masalah – masalah pokok seperti yang ditegaskan oleh Tilaar (1991) dalam Achmad Munib (2007) menyatakan bahwa dunia pendidikan kita mengalami 5 krisis pokok yaitu : (1) kualitas; (2) relevansi; (3) elitisme; (4) manajemen; (5) pemerataan pendidikan.
Dalam mengukur rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia sebenarnya sulit, Achmad Munib (2007) mengemukakan adanya indikator untuk mengukur kualitas pendidikan kita yang rendah ini meliputi :
1. mutu guru yang masih rendah ada pada semua jenjang kependidikan
2. alat bantu proses belajar mengajar seperti buku teks, peralatan laboratorium dan bengkel kerja yang belum memadai.
3. tidak meratanya kualitas lulusan yang dihasilkan untuk semua jenjang pendidikan.
Untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas yang ada maka perlu usaha yang memiliki loncatan – loncatan perubahan yang mampu mempertahankan diri agar hasil produknya lebih kompetetif (lihat Tilaar, 2002:6).
Permasalahan relevansi pendidikan menurut Riwanto (1993) adalah tidak relevannya pendidikan kita bukan hanya disebabkan oleh adanya kesenjangan antara “ supply” sistem pendidikan dan “demand” tenaga yang dibutuhkan oleh berbagai sektor ekonomi, tetapi juga disebabkan oleh ketidak sesuaian isi kurikulum pendidikan kita di berbagai jenjang pendidikan (terutama kurikulum SLTA kejuruan dan kurikulum di Perguruan Tinggi) dengan perkembangan diferensiasi lapangan pekerjaan di dunia usaha dan berkembangnya Iptek.
Elitisme menjadi masalah dikarenakan dalam pendidikan kita adanya kecenderungan penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah menguntungkan kelompok masyarakat yang kecil atau yang justru mampu ditinjau dari segi ekonomi (Tilaar, 1991).
Menurut Achmad Munib (2007) masalah manajemen pendidikan muncul pada saat pendidikan di analogkan sebagai suatu industri, dimana sebagai suatu industri pengembangan sumber daya manusia pendidikan harus dikelola secara profesional. Sedangkan manajer profesonal yang diperlukan di setiap jenjang dan jenis pendidikan menuntut adanya kerja keras dari berbagai pihak, untuk bisa tampil unggul dalam dunia globalisasi.
Dan permasalahan yang terakhir adalah masalah pemerataan dimana adanya ketidak seimbangan menurut Achmad Munib (2007) yang meliputi :
1. Ketidak seimbangan antara jumlah penduduk yang berumur cukup untuk sekolah dengan jumlah fasilitas yang dapat disediakan bagi mereka.
2. Ketidak seimbangan pendidikan secara horizontal yaitu antara jenis dan bidang pendidikan. Hal ini menimbulkan akibat kurang sesuainya persediaan tenaga kerja dengan kebutuhan tenaga kerja untuk pembangunan.
3. Ketidak seimbangan vertikal yaitu perbandingan antara SD, Sekolah Lanjutan Tingkat Menengah dan Perguruan Tinggi/Akademi.
B. Kualitas SDM Pendidikan
Menurut Prof. Mantja (2008) jika lembaga pendidikan dianalogkan sebagai perusahaan maka SDM dapat dilihat kelembagaannya, perasionalnya dan outputnya harus memiliki karakter manusiawi, karena outputnya manusia maka pendidikan menurut Tilaar (2007) outputnya sebagai investasi SDM yang mana harus memiliki karakter :
a. Manusia yang berwatak
b. Seorang yang pintar atau inteligen
c. Entrepreneur (wiraswasta), dan
d. Watak yang kompetetif
Dalam membentuk output yang memiliki karakteristik di atas makaProf. Mantja(2008) harus memperhatikan berbagai hal yang menjadi pusat SDM Pendidikan seperti :
Staf instrusional (guru)
Fleksibel
Penyesuaian staf
Kompetensi fungsional
Keterlibatan kooperatif
Menemukan sdm (ijazah?)
Pola pengaruh dan pola pengawasan
Memperhatikan masalah indikator yang sudah dibahas di atas dimana salah satu indikator utamanya adalah mutu guru yang rendah hampir di semua jenjang pendidikan maka dalam hubungan dengan peningkatan SDM pendidikan maka faktor utamanya adalah Guru yang harus banyak ditingkatkan.
Untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas yang ada maka perlu usaha yang memiliki loncatan – loncatan perubahan yang mampu mempertahankan diri agar hasil produknya lebih kompetetif (lihat Tilaar, 2002:6). Dalam hal ini terutama diupayakan dengan mengangkat profesi guru sebagai mana mestinya sebagai salah satu tenaga profesional hal ini dikarenakan dari berbagai hasil kajian tentang peranan guru yang dianggap sebagai kunci keberhasilan bagi proses belajar-mengajar di sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat John Goodlad dalam Suyanto (2005) yang mengemukakan bahwa peran guru amat signifikan bagi setiap keberhasilan proses pembelajaran (www.dikdasmen.org). Peran guru merupakan peran yang penting yang dilakukan melalui pengelolaan kelas yang efektif seperti yang dikemukakan Titus Sri Maryoto (November 2005) dimana dari hasil penelitiannya diperoleh hasil, guru mempunyai peran yang sentral dalam peningkatan kualitas layanan pendidikan melalui pengelolaan kelas yang baik yaitu sebagai pengajar, pendidik dan manajer. Hal serupa dikemukakan oleh S Karim A Karhami (2001), bahwa guru menempati posisi sentral dalam proses pembelajaran sehingga dituntut selalu melakukan inovasi yang terus menerus mengenai metode pembelajaran di kelas sehingga menyenangkan dan memotivasi siswa.
Sebagai posisi dan peran sentral maka guru adalah tenaga profesional yang mana Profesionalisme guru biasanya diukur dengan adanya tingkat kompetensi yang dimiliki oleh guru, tentang kompetensi ini Mas’ud Abdurrahman, (2003:194), seorang guru harus memiliki kompetensi dasar seperti : (1) menguasai materi atau bahan ajar; (2) antusiasme, dan; (3) penuh kasih sayang (loving) dalam mengajar dan mendidik, sedangkan secara peraturan dalam pasal 8 UU Guru dan Dosen secara eksplisit menyebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Disisi lain sebagai satu hal yang bersifat profesional maka profesi tersebut harus memperoleh penghasilan untuk kehidupannya (earning for living) (Tilaar, 2002;86).
Dua hal yang sering dikaitkan dalam masalah profesionalisme guru di atas kenyataannya dalam segi kompetensi banyak guru yang tidak memenuhi standar kompetensi seperti pendapat Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Prof. Sutjipto (Jurnalnet, 16/10/2005) “Saat ini baru 50 persen dari guru se-Indonesia yang memiliki standardisasi dan kompetensi. Kondisi seperti ini masih dirasa kurang. Sehingga kualitas pendidikan kita belum menunjukkan peningkatan yang signifikan,”
Sedangkan untuk penghasilan yang mereka peroleh, dalam kenyataan gaji guru di Indonesia masih kalah jauh dengan profesi lain yang setara dalam persyaratan profesi yang harus mengantongi gelar sarjana. Bahkan gaji guru di negara tetangga di kawasan Asia Tenggara jauh lebih baik jika dibandingkan dengan gaji guru di Indonesia, padahal suatu profesi adalah kegiatan seseorang untuk menghidupi kehidupannya (earning for living) (Tilaar,2002;86).
Berbicara masalah gaji dan pada saat sekarang lebih banyak digunakan istilah kompensasi maka menurut Prof. Mantja(2008) harus didasarkan pada :
a. The desire to live
b. the desire for posession
c. the desire for power
d. the desire for recognation
Jika hal itu dipenuhi maka harkat dan prestise dari guru akan seimbang dengan profesi yang lain. Dengan adanya meningkatnya prestise dan harga diri maka profesi guru akan menjadi profesi yang dikejar dan dengan demikian maka nilai profesionalisme guru akan meningkat karena adanya kenaikan keinginan menjadi guru yang akan memacu SDM pendidikan yakni guru untuk meningkatkan profesionalitasnya. Memang profesionalitas tidak mutlak pada pemberian kompensasi tetapi juga ada unsur lain seperti yang telah didiskusikan di atas yaitu adanya sertifikasi, kompetensi dan persyaratan administrasi lainnya.
Menurut Tilaar (2008) Profesi Guru terpuruk dikarenakan beberapa hal di bawah ini :
1. Dalam masyarakat terjadi anomali mengenai status profesi guru. Citra guru yang begitu tinggi mengenai guru sebagai begawan dalam kehidupan modern menjadi kehilangan daya tarik.
2. Paradoksial sikap masyarakat terhadap profesi guru, dimana satu sisi meninggikan profesi guru dan disisi lain sekaligus mencampakkannya.
3. Kelemahan lembaga organisasi profesi guru sehingga tidak menopang perbaikan profesi guru.
4. Adanya mitos – mitos yang seolah – olah meninggikan profesi guru dan ternyata justru membatasi berkembangnya profesi guru mitos itu dibagi menjadi 6 (lihat matriks)
Matriks
Demtologisasi Profesi Guru
Wacana Mitos Langkah – Langkah Demitologisasi
1. Status Sosial a. Pahlawan tanpa bintang jasa
b. Guru= pekerja sosial tanpa imbalan
c. Pekerjaan orang dungu a. Berhak dihargai oleh masyarakat sebagai suatu profesi terhormat
b. Guru memiliki kewajiban dan imbalan yang sesuai seperti profesi lainnya
2. Status Profesi d. Profesi terbuka
e. Pekerjaan bagi setiap orang
f. Bukan serikat kerja d. Profesi guru punya syarat profesi obyektif
e. Sanksi diperketat oleh organisasi profesi guru
f. Berhak memperbaik nasib HAM
3.Gender g. Profesi perempuan
h. Puas dengan imbalan minim g. Perempuan adalah guru alamiah pertama
h. Perempuan dan laki – laki harus memperoleh perlakuan, kesempatan, dan penghargaan yang sama
4. Politik dan Kekuasaan i. Pantang berpolitik
j. Pantang Menggalang kekuatan (bargaining power) i. Pendidikan tidak boleh dijadikan alat politik
j. Organisasi Profesi dan perbaikan hidup anggota
5. Ilmu Pengetahuan k. Ilmu Pendidikan = kuasi ilmu
l. Ilmu Pendidikan mudah dikuasai k. Meningkatkan riset pendidikan anak Indonesia
l. Memperkuat LPTK
6. Organisasi Profesi m. Profesi guru bertingkat – tingkat
n. PGRI hanya untuk “guru Kecil”
o. PGRI suatu “soft organization” m. Reorganisasi organisasi profesi guru
n. Perkuat organisasi PGRI
o. Kembangkan keanggotaan dalam Education International - ICFTU
C. Alternatif Peningkatan Kualitas SDM Pendidikan
Berbicara tentang kualitas maka Stout’s New dalam Prof. Sulistyo (2008) menyatakan bahwa sebenarnya untuk rumus kualitas itu adalah :
Quality = Performance / Expectation
Dengan demikian kita bisa melihat bahwa sebenarnya untuk meningkatkan kualitas adalah dengan melihat performance dibandingkan dengan expectation, dimana dalam permasalahan kita sudah melihat bahwa ekspektasi masyarakat belum bisa dipenuhi oleh guru dalam profesinya (lihat Thoharuddin dan Soetjipto), dimana harapan masyarakat masih banyak dikecewakan.
Dalam TQM ditegaskan untuk dapat mencapai kualitas total maka perlu ditempuh 5 langkah dalam mencapainya (Sulistyo;2008) yakni :
- Pastikan apa yang diinginkan oleh customer
- Kembangkan produk dan layanan
- Kembangkan sistem produksi
- Perlu adanya monitoring sistem
- Mengikutkan partisipasi customer dan supplier
Untuk lebih memberdayakan dan Meningkatkan Kualitas SDM Pendidikan banyak pakar berpendapat misalnya Kisdarto Atmosoeprapto(2002) dalam Prof. Mantja (2008) menyarankan untuk meningkatkan efektifitas kepemimpinan dan perlunya efisiensi manajemen.
Lebih jauh Prof. Mantja (2008) untuk meningkatkan kualitas SDM maka perlu memperhatikan unsur – unsur seperti : Attitude; Human resource development & organizational development (hrd & od); Leadership; Management ; Mind development dan; Performance.
Sedangkan Tilaar (2008) berpendapat bahwa terpuruknya profesi guru salah satunya juga sebagai akibat dari adanya pengaruh globalisasi yang mana dalam menanggapi globalisasi kita masih senang dengan mempertahankan status quo dimana dalam pelaksanaan pendidikan nasional kita masih menganut sistem yang sangat sentralistis, birokratis, dan matinya inovasi. Maka untuk mengatasi hal tersebut dengan mengusulkan beberapa cara yaitu :
1. Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan Nasional
2. Pendidikan Dasar sebagai basis Pengembangan Sumber Daya Manusia
3. Perlunya peningkatan Pelatihan
4. Pembinaan Sekolah Menengah
5. Peningkatan Manajemen Pendidikan Tinggi.
Sedangkan secara khusus untuk masalah SDM nya terutama pada profesi guru seperti telah diungkapkan di atas maka beliau menyarankan terutama untuk merubah dulu masalah mitos – mitos dengan melaksanakan demitologi seperti yang ada pada matriks di atas. Selebihnya dengan lebih memperkuat organisasi profesi yang telah dimiliki.
Hasil studi dari United Nations for Development Program (UNDP), kualitas sumber daya manusia Indonesia saat ini berada pada peringkat ke-109 dari 174 negara di dunia. Sementara itu, Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thaliland masing-masing berada pada peringkat ke-41 sampai 44. Posisi negara kita bahkan di bawah Vietnam yang baru bangkit karena tekanan tentara Amerika Serikat (Pikiran Rakyat, 3 Januari 2004). Kemudian Menteri Pendidikan Nasional , 2004 menyatakan bahwa hasil studi Internatonal Institute for Management Development (IIMD, 2001) bahwa indeks kompetisi manusia (SDM) Indonesia mendudukkan Indonesia di peringkat ke-49 dari 49 negara. Dan ketika masalah rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia maka muaranya akan selalu menunjuk pada lembaga pendidikan sebagai satu lembaga yang memproduksi ketrampilan dan kemampuan sumber daya manusia.
Misalnya menurut pendapat Us Toharudin (Pikiran Rakyat,edisi 2005) mengemukakan “Disatu pihak kondisi pendidikan kita dipandang sangat memprihatinkan dimana hasil lulusan kita belum seluruhnya memenuhi harapan masyarakat, masih banyak komplain dari masyarakat.”
Memang perkara kualitas dalam pendidikan merupakan salah satu isu utama diantara masalah – masalah pokok seperti yang ditegaskan oleh Tilaar (1991) dalam Achmad Munib (2007) menyatakan bahwa dunia pendidikan kita mengalami 5 krisis pokok yaitu : (1) kualitas; (2) relevansi; (3) elitisme; (4) manajemen; (5) pemerataan pendidikan.
Dalam mengukur rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia sebenarnya sulit, Achmad Munib (2007) mengemukakan adanya indikator untuk mengukur kualitas pendidikan kita yang rendah ini meliputi :
1. mutu guru yang masih rendah ada pada semua jenjang kependidikan
2. alat bantu proses belajar mengajar seperti buku teks, peralatan laboratorium dan bengkel kerja yang belum memadai.
3. tidak meratanya kualitas lulusan yang dihasilkan untuk semua jenjang pendidikan.
Untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas yang ada maka perlu usaha yang memiliki loncatan – loncatan perubahan yang mampu mempertahankan diri agar hasil produknya lebih kompetetif (lihat Tilaar, 2002:6).
Permasalahan relevansi pendidikan menurut Riwanto (1993) adalah tidak relevannya pendidikan kita bukan hanya disebabkan oleh adanya kesenjangan antara “ supply” sistem pendidikan dan “demand” tenaga yang dibutuhkan oleh berbagai sektor ekonomi, tetapi juga disebabkan oleh ketidak sesuaian isi kurikulum pendidikan kita di berbagai jenjang pendidikan (terutama kurikulum SLTA kejuruan dan kurikulum di Perguruan Tinggi) dengan perkembangan diferensiasi lapangan pekerjaan di dunia usaha dan berkembangnya Iptek.
Elitisme menjadi masalah dikarenakan dalam pendidikan kita adanya kecenderungan penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah menguntungkan kelompok masyarakat yang kecil atau yang justru mampu ditinjau dari segi ekonomi (Tilaar, 1991).
Menurut Achmad Munib (2007) masalah manajemen pendidikan muncul pada saat pendidikan di analogkan sebagai suatu industri, dimana sebagai suatu industri pengembangan sumber daya manusia pendidikan harus dikelola secara profesional. Sedangkan manajer profesonal yang diperlukan di setiap jenjang dan jenis pendidikan menuntut adanya kerja keras dari berbagai pihak, untuk bisa tampil unggul dalam dunia globalisasi.
Dan permasalahan yang terakhir adalah masalah pemerataan dimana adanya ketidak seimbangan menurut Achmad Munib (2007) yang meliputi :
1. Ketidak seimbangan antara jumlah penduduk yang berumur cukup untuk sekolah dengan jumlah fasilitas yang dapat disediakan bagi mereka.
2. Ketidak seimbangan pendidikan secara horizontal yaitu antara jenis dan bidang pendidikan. Hal ini menimbulkan akibat kurang sesuainya persediaan tenaga kerja dengan kebutuhan tenaga kerja untuk pembangunan.
3. Ketidak seimbangan vertikal yaitu perbandingan antara SD, Sekolah Lanjutan Tingkat Menengah dan Perguruan Tinggi/Akademi.
B. Kualitas SDM Pendidikan
Menurut Prof. Mantja (2008) jika lembaga pendidikan dianalogkan sebagai perusahaan maka SDM dapat dilihat kelembagaannya, perasionalnya dan outputnya harus memiliki karakter manusiawi, karena outputnya manusia maka pendidikan menurut Tilaar (2007) outputnya sebagai investasi SDM yang mana harus memiliki karakter :
a. Manusia yang berwatak
b. Seorang yang pintar atau inteligen
c. Entrepreneur (wiraswasta), dan
d. Watak yang kompetetif
Dalam membentuk output yang memiliki karakteristik di atas makaProf. Mantja(2008) harus memperhatikan berbagai hal yang menjadi pusat SDM Pendidikan seperti :
Staf instrusional (guru)
Fleksibel
Penyesuaian staf
Kompetensi fungsional
Keterlibatan kooperatif
Menemukan sdm (ijazah?)
Pola pengaruh dan pola pengawasan
Memperhatikan masalah indikator yang sudah dibahas di atas dimana salah satu indikator utamanya adalah mutu guru yang rendah hampir di semua jenjang pendidikan maka dalam hubungan dengan peningkatan SDM pendidikan maka faktor utamanya adalah Guru yang harus banyak ditingkatkan.
Untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas yang ada maka perlu usaha yang memiliki loncatan – loncatan perubahan yang mampu mempertahankan diri agar hasil produknya lebih kompetetif (lihat Tilaar, 2002:6). Dalam hal ini terutama diupayakan dengan mengangkat profesi guru sebagai mana mestinya sebagai salah satu tenaga profesional hal ini dikarenakan dari berbagai hasil kajian tentang peranan guru yang dianggap sebagai kunci keberhasilan bagi proses belajar-mengajar di sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat John Goodlad dalam Suyanto (2005) yang mengemukakan bahwa peran guru amat signifikan bagi setiap keberhasilan proses pembelajaran (www.dikdasmen.org). Peran guru merupakan peran yang penting yang dilakukan melalui pengelolaan kelas yang efektif seperti yang dikemukakan Titus Sri Maryoto (November 2005) dimana dari hasil penelitiannya diperoleh hasil, guru mempunyai peran yang sentral dalam peningkatan kualitas layanan pendidikan melalui pengelolaan kelas yang baik yaitu sebagai pengajar, pendidik dan manajer. Hal serupa dikemukakan oleh S Karim A Karhami (2001), bahwa guru menempati posisi sentral dalam proses pembelajaran sehingga dituntut selalu melakukan inovasi yang terus menerus mengenai metode pembelajaran di kelas sehingga menyenangkan dan memotivasi siswa.
Sebagai posisi dan peran sentral maka guru adalah tenaga profesional yang mana Profesionalisme guru biasanya diukur dengan adanya tingkat kompetensi yang dimiliki oleh guru, tentang kompetensi ini Mas’ud Abdurrahman, (2003:194), seorang guru harus memiliki kompetensi dasar seperti : (1) menguasai materi atau bahan ajar; (2) antusiasme, dan; (3) penuh kasih sayang (loving) dalam mengajar dan mendidik, sedangkan secara peraturan dalam pasal 8 UU Guru dan Dosen secara eksplisit menyebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Disisi lain sebagai satu hal yang bersifat profesional maka profesi tersebut harus memperoleh penghasilan untuk kehidupannya (earning for living) (Tilaar, 2002;86).
Dua hal yang sering dikaitkan dalam masalah profesionalisme guru di atas kenyataannya dalam segi kompetensi banyak guru yang tidak memenuhi standar kompetensi seperti pendapat Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Prof. Sutjipto (Jurnalnet, 16/10/2005) “Saat ini baru 50 persen dari guru se-Indonesia yang memiliki standardisasi dan kompetensi. Kondisi seperti ini masih dirasa kurang. Sehingga kualitas pendidikan kita belum menunjukkan peningkatan yang signifikan,”
Sedangkan untuk penghasilan yang mereka peroleh, dalam kenyataan gaji guru di Indonesia masih kalah jauh dengan profesi lain yang setara dalam persyaratan profesi yang harus mengantongi gelar sarjana. Bahkan gaji guru di negara tetangga di kawasan Asia Tenggara jauh lebih baik jika dibandingkan dengan gaji guru di Indonesia, padahal suatu profesi adalah kegiatan seseorang untuk menghidupi kehidupannya (earning for living) (Tilaar,2002;86).
Berbicara masalah gaji dan pada saat sekarang lebih banyak digunakan istilah kompensasi maka menurut Prof. Mantja(2008) harus didasarkan pada :
a. The desire to live
b. the desire for posession
c. the desire for power
d. the desire for recognation
Jika hal itu dipenuhi maka harkat dan prestise dari guru akan seimbang dengan profesi yang lain. Dengan adanya meningkatnya prestise dan harga diri maka profesi guru akan menjadi profesi yang dikejar dan dengan demikian maka nilai profesionalisme guru akan meningkat karena adanya kenaikan keinginan menjadi guru yang akan memacu SDM pendidikan yakni guru untuk meningkatkan profesionalitasnya. Memang profesionalitas tidak mutlak pada pemberian kompensasi tetapi juga ada unsur lain seperti yang telah didiskusikan di atas yaitu adanya sertifikasi, kompetensi dan persyaratan administrasi lainnya.
Menurut Tilaar (2008) Profesi Guru terpuruk dikarenakan beberapa hal di bawah ini :
1. Dalam masyarakat terjadi anomali mengenai status profesi guru. Citra guru yang begitu tinggi mengenai guru sebagai begawan dalam kehidupan modern menjadi kehilangan daya tarik.
2. Paradoksial sikap masyarakat terhadap profesi guru, dimana satu sisi meninggikan profesi guru dan disisi lain sekaligus mencampakkannya.
3. Kelemahan lembaga organisasi profesi guru sehingga tidak menopang perbaikan profesi guru.
4. Adanya mitos – mitos yang seolah – olah meninggikan profesi guru dan ternyata justru membatasi berkembangnya profesi guru mitos itu dibagi menjadi 6 (lihat matriks)
Matriks
Demtologisasi Profesi Guru
Wacana Mitos Langkah – Langkah Demitologisasi
1. Status Sosial a. Pahlawan tanpa bintang jasa
b. Guru= pekerja sosial tanpa imbalan
c. Pekerjaan orang dungu a. Berhak dihargai oleh masyarakat sebagai suatu profesi terhormat
b. Guru memiliki kewajiban dan imbalan yang sesuai seperti profesi lainnya
2. Status Profesi d. Profesi terbuka
e. Pekerjaan bagi setiap orang
f. Bukan serikat kerja d. Profesi guru punya syarat profesi obyektif
e. Sanksi diperketat oleh organisasi profesi guru
f. Berhak memperbaik nasib HAM
3.Gender g. Profesi perempuan
h. Puas dengan imbalan minim g. Perempuan adalah guru alamiah pertama
h. Perempuan dan laki – laki harus memperoleh perlakuan, kesempatan, dan penghargaan yang sama
4. Politik dan Kekuasaan i. Pantang berpolitik
j. Pantang Menggalang kekuatan (bargaining power) i. Pendidikan tidak boleh dijadikan alat politik
j. Organisasi Profesi dan perbaikan hidup anggota
5. Ilmu Pengetahuan k. Ilmu Pendidikan = kuasi ilmu
l. Ilmu Pendidikan mudah dikuasai k. Meningkatkan riset pendidikan anak Indonesia
l. Memperkuat LPTK
6. Organisasi Profesi m. Profesi guru bertingkat – tingkat
n. PGRI hanya untuk “guru Kecil”
o. PGRI suatu “soft organization” m. Reorganisasi organisasi profesi guru
n. Perkuat organisasi PGRI
o. Kembangkan keanggotaan dalam Education International - ICFTU
C. Alternatif Peningkatan Kualitas SDM Pendidikan
Berbicara tentang kualitas maka Stout’s New dalam Prof. Sulistyo (2008) menyatakan bahwa sebenarnya untuk rumus kualitas itu adalah :
Quality = Performance / Expectation
Dengan demikian kita bisa melihat bahwa sebenarnya untuk meningkatkan kualitas adalah dengan melihat performance dibandingkan dengan expectation, dimana dalam permasalahan kita sudah melihat bahwa ekspektasi masyarakat belum bisa dipenuhi oleh guru dalam profesinya (lihat Thoharuddin dan Soetjipto), dimana harapan masyarakat masih banyak dikecewakan.
Dalam TQM ditegaskan untuk dapat mencapai kualitas total maka perlu ditempuh 5 langkah dalam mencapainya (Sulistyo;2008) yakni :
- Pastikan apa yang diinginkan oleh customer
- Kembangkan produk dan layanan
- Kembangkan sistem produksi
- Perlu adanya monitoring sistem
- Mengikutkan partisipasi customer dan supplier
Untuk lebih memberdayakan dan Meningkatkan Kualitas SDM Pendidikan banyak pakar berpendapat misalnya Kisdarto Atmosoeprapto(2002) dalam Prof. Mantja (2008) menyarankan untuk meningkatkan efektifitas kepemimpinan dan perlunya efisiensi manajemen.
Lebih jauh Prof. Mantja (2008) untuk meningkatkan kualitas SDM maka perlu memperhatikan unsur – unsur seperti : Attitude; Human resource development & organizational development (hrd & od); Leadership; Management ; Mind development dan; Performance.
Sedangkan Tilaar (2008) berpendapat bahwa terpuruknya profesi guru salah satunya juga sebagai akibat dari adanya pengaruh globalisasi yang mana dalam menanggapi globalisasi kita masih senang dengan mempertahankan status quo dimana dalam pelaksanaan pendidikan nasional kita masih menganut sistem yang sangat sentralistis, birokratis, dan matinya inovasi. Maka untuk mengatasi hal tersebut dengan mengusulkan beberapa cara yaitu :
1. Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan Nasional
2. Pendidikan Dasar sebagai basis Pengembangan Sumber Daya Manusia
3. Perlunya peningkatan Pelatihan
4. Pembinaan Sekolah Menengah
5. Peningkatan Manajemen Pendidikan Tinggi.
Sedangkan secara khusus untuk masalah SDM nya terutama pada profesi guru seperti telah diungkapkan di atas maka beliau menyarankan terutama untuk merubah dulu masalah mitos – mitos dengan melaksanakan demitologi seperti yang ada pada matriks di atas. Selebihnya dengan lebih memperkuat organisasi profesi yang telah dimiliki.