-->

Monday, June 29, 2009

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN TERPADU BAHASA INDONESIA DI KELAS III SEKOLAH DASAR

Abstract
The objective of this study is to describe the process of integrated teaching Indonesian Language at the third year of the Elementary School which is view from (1) teachers’ way in integrating teaching material, (2) teachers’ language during the process of teaching, and (3) students’ activities during learning Indonesian langauge.
The study used qualitative approach by observation, interview, and documentation in order to collect the data. The sample of this study consisted of teachers and students of the third year of SD Negeri Kenari 7 Pagi, Central Jakarta during 1998/1999 academic year.
The study concluded that the teachers teach Indonesian language by using themes that occurs in the curriculum of 1984 and teachers own creation. The integration of material happens within the field of study as well as inter field of study. The teachers’ language during the process of teaching varies between standard and non standard in which the teachers used incomplete statements. The students’ learning activities are carried out (a) individually in reading, writing, and telling the story, (b) in group, in reading and observing the environment, (c) individual and group in reading and listening. These activities are concluded in the class as well as out of the class.


1. PENDAHULUAN
Sekolah Dasar sebagai penggal pertama pendidikan, seyogiyanya dapat memberikan landasan yang kuat untuk tingkat selajutnya. Dengan demikian sekolah dasar harus memberikan bekal kemampuan dan keterampilan dasar strategies sejak kelas-kelas awal.

Salah satu kemampuan dasar strategies itu adalah kemampuan dan keterampilan berbahasa. Dengan kemampuan berbahasa yang diperoleh sejak dini yang kemudian dimiliki, siswa dapat berkomunikasi antar sesamanya, menimba berbagai pengetahuan, serta mengembangkan diri secara berkelanjutan. Selain itu kemampuan dan keterampilan berbahasa tersebut sangat berguna dalam pembentukan pribadi menjadi warga negara, serta memahami dan berpartisipasi dalam pembanguanan masyarakat atau bangsa. Untuk masa sekarang dan yang akan datang yang ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan informasi yang serba canggih atau biasa disebut era kesejagatan, kemampuan berbahasa yang meliputi membaca dan menulis perlu dikembangkan secara sungguh-sungguh. Abad moderen adalah abad budaya baca tulis yang menuntut warga masyarakat harus memiliki kemampuan membaca dan menulis yang memadai (Akhadiah, 1994:1).

Arus globalisasi dan revolusi iptek mendorong kita untuk berupaya meningkatkan kemampuan untuk terlibat dalam percaturan internasional dalam berbagai bidang, sehingga kemampuan baca-tulis-hitung harus dibarengi dengan pembelajaran yang dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang merupakan bagian yang integral dari sistem persekolahan di Indonesia, sangat perlu ditingkatkan mutu pendidikannya sejak dari kelas-kelas awal.

Upaya meningkatkan mutu pendidikan dasar ini tidak dapat ditunda-tunda lagi terutama dalam peningkatan mutu proses pembelajaran di SD era globalisasi. Hal ini sesuai dengan fungsi pendidikan dasar yang tidak lagi semata-mata berfungsi sebagai sarana sosialisasi anak didik, melainkan sejak dini sudah harus menumbuhkan secara potensial manusia Indonesia yang kelak mampu menjadi agen pembaharuan. Semiawan dan Raka Joni (1993:12) menyatakan bahwa fungsi SD tidak semata-mata menjadikan keluarannya melek huruf saja dan memiliki segumpalan pengetahuan yang menjadi pengetahuan sesaat, dalam arti kurang mampu mewujudkan kemandiriannya, tetapi melek huruf dalam arti melek teknologi dan melek pikir.

Kenyataan selama ini praktek pendidikan di sekolah dasar yang terjadi menunjukkan kecenderungan (1) terjadinya pengkotakan bidang studi yang ketat, terutama untuk kelas-kelas tinggi, (2) pembelajaran hanya menekankan pada pencapaian efek instruksional, (3) system evaluasi berorientasi testing dengan menekankan reproduksi informal. Hal ini bertentangan dengan ciri utama dari perkembangan anak sekolah dasar yang holistik, perkembangan anak bersifat terpadu, aspek perkembangan yang satu terkait erat dan mempengaruhi aspek perkembangan yang lain (Depdikbud, 1997:98).

Bredekamp (1987:3) menyatakan bahwa anak berkembang pada semua aspek perkembangannya baik fisik, emosional, sosial, dan kognitif. Tidak ada jalan lain kecuali guru harus memiliki tanggungjawab dan perhatian penuh bagi keutuhan perkembangan anak. Sehubungan dengan itu Goodman dalam Akhadiah menyatakan bahwa (1) belajar bahasa lebih mudah terjadi jika bahasa itu disajikan secara holistik nyata, relevan, bermakna, serta fungsional jika bahasa itu disajikan dalam konteks dan dipilih siswa untuk digunakan, (2) belajar bahasa adalah belajar bagaimana mengungkapkan maksud sesuai dengan konteks lingkungan orang tua, kerabat, dan kebudayaan terdapat interdependensi antara perkembangan kognitif dan perkembangan kemampuan bahasa yang meliputi pikiran bergantung kepada bahasa dan bahasa bergantung kepada pikiran (Akhadiah, 1994:10-11). Dinyatakan pula bahwa sesuai dengan teori belajar, perkembangan kognitif serta perkembangan bahasa pada anak usia lima sampai dengan delapan tahun atau anak kelas awal SD mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) kemampuan kognitif dan bahasa anak usia tersebut telah memadai untuk belajar dalam situasi yang lebih formal, (2) anak-anak seusia itu masih memandang sesuatu lebih sebagai keseluruhan/ secara, (3) sesuatu lebih mudah mereka pahami jika diperoleh melalui interaksi sosial dengan mengalaminya secara nyata dalam situasi yang menyenangkan, (4) situasi yang akrab, dilandasi penghargaan, pengertian, dan kasih sayang, serta lingkungan belajar kondusif dan terencana sangat membantu proses belajar yang efektif (Akhadiah, 1994: 8-9). Kenyataan itu menuntut agar guru sebagai pengelola pembelajaran dapat menyediakan lingkungan belajar yang kondusif dan pendekatan pembelajaran yang bermuatan keterkaitan atau keterpaduan sehingga membuat anak secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan pembuatan keputusan.

Senada dengan pendapat Goodman, Suriasumantri (1995:257) menyatakan bahwa belajar bahasa akan lebih mudah jika pembelajaran bersifat holistik,realistik, relevan, bermakna, dan fungsional, serta tidak lepas dari konteks pembicaraan. Pendekatan pembelajaran terpadu dalam pengajaran bahasa sebenarnya dilandasi oleh pandangan bahasa holistic (whole language) yang memperlakukan bahasa sebagai sesuatu yang bulat dan utuh, dan dalam proses belajar sesuai dengan perkembangan siswa. Dalam proses pembelajaran bahasa holistic guru menjadi model dalam berbahasa (membaca dan menulis), serta bertindak sebagai fasilitator dan memberikan umpan balik yang positif. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Gunarsa bahwa proses belajar anak melalui conditioning dan melalui pengamatan terdapat model-model tingkah laku di luar dirinya.

Pada kurikulum pendidikan dasar tahun 1994 asas keterpaduan sudah mulai dipertimbangkan. Hal ini tampak dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, dimana aspek-aspek kebahasaan seperti aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis diajarkan secara terpadu dan mendapatkan porsi yang seimbang, juga dikaitkan dengan konsep materi IPA dan IPS untuk kelas I dan II. Hal ini tampak pada butir 7, 18, dan 19 rambu-rambu GBPP.

Pada butir 7 disebutkan pembelajaran Bahasa Indonesia mencakup aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut sebaiknya mendapat porsi yang seimbang. Dalam pelaksanaanya sebaiknya dilaksanakan secara terpadu, misalnya:
• mendengarkan —— menulis —— berdiskusi
• mendengarkan —— bercakap-cakap —— membaca
• bercakap-cakap —— menulis —— membaca
• membaca —— berdiskusi —— memerankan
• menulis —— melaporkan —— membahas

Pada butir 18 di sebutkan bahan pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dapat pula dipadukan atau dikaitkan dengan mata pelajaran lain seperti IPA, IPS, atau matematika.

Pada butir 9 disebutkan bahan pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia untuk kelas I dan II SD mencakup pula bahan pelajaran IPA dan IPS.

Dari uraian rambu-rambu pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia pada kurikulum pendidikan dasar tahun 1994 diisyaratkan untuk menggunakan pendekatan pembelajaran terpadu baik secara intra maupun antar bidang studi.

Dari berbagai pendapat para ahli dan rambu-rambu pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di kelas-kelas awal telah mempertimbangkan asas keterkaitan atau keterpaduan sebagai pendekatan pembelajaran sesuai dengan perkembangan anak sekolah dasar yang holistik yaitu pendekatan pembelajaran terpadu. Guru sebagai model dalam berbahasa (membaca dan menulis) selama proses pembelajaran berlangsung serta bertindak sebagai fasilitator dan memberikan umpan balik yang positif. Kualitas hasil pembelajaran Bahasa Indonesia dipengaruhi berbagai faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah pendekatan dalam proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas. Proses tersebut menyangkut materi ajar yang digunakan, kegiatan guru dan siswa, interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan bahan ajar, alat dan lingkungan belajar serta cara dan alat evaluasi dan kesesuaian dengan kebutuhan perkembangan siswa itu sendiri.


2. HAKIKAT PEMBELAJARAN TERPADU
Pembelajaran terpadu merupakan suatu aplikasi salah satu startegi pembelajaran berdasarkan pendekatan kurikulum terpadu yang bertujuan untuk menciptakan atau membuat proses pembelajaran secara relevan dan bermakna bagi anak (Atkinson, 1989:9). Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam pembelajaran terpadu didasarkan pada pendekatan inquiry, yaitu melibatkan siswa mulai dari merencanakan, mengeksplorasi, dan brain storming dari siswa. Dengan pendekatan terpadu siswa didorong untuk berani bekerja secara kelompok dan belajar dari hasil pengalamannya sendiri. Collins dan Dixon (1991:6) menyatakan tentang pembelajaran terpadu sebagai berikut: integrated learning occurs when an authentic event or exploration of a topic in the driving force in the curriculum. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam pelaksanaannya anak dapat diajak berpartisipasi aktif dalam mengeksplorasi topik atau kejadian, siswa belajar proses dan isi (materi) lebih dari satu bidang studi pada waktu yang sama.

Pembelajaran terpadu sangat memperhatikan kebutuhan anak sesuai dengan perkembangannya yang holistik dengan melibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran baik fisik maupun emosionalnya. Untuk itu aktivitas yang diberikan meliputi aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip keilmuan yang holistik, bermakna, dan otentik sehingga siswa dapat menerapkan perolehan belajar untuk memecahkan masalah-masalah yang nyata di dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan program DAP yang dikemukakan Bredekamp (1992:7) dalam proses pembelajaran orang dewasa hendaknya menyediakan berbagai aktivitas dan bahan-bahan yang kaya serta menawarkan pilihan bagi siswa sehingga siswa dapat memilihnya untuk kegiatan kelompok kecil maupun mandiri dan memberikan kesempatan bagi siswa untuk berinisiatif sendiri, melakukan keterampilan atas prakarsa sendiri sebagai aktivitas yang dipilihnya. Pembelajaran terpadu juga menekankan integrasi berbagai aktivitas untuk mengeksplorasi objek, topik, atau tema yang merupakan kejadian-kejadian, fakta, dan peristiwa yang otentik.

Pelaksanaan pembelajaran terpadu pada dasarnya agar kurikulum itu bermakna bagi anak. Hal ini dimaksudkan agar bahan ajar tidak digunakan secara terpisah-pisah, tetapi merupakan suatu kesatuan bahan yang utuh dan cara belajar yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan siswa.

Bentuk implementasi pembelajaran terpadu di SD ada beberapa bentuk. Ditinjau dari sifat materi yang dipadukan di antaranya ada dua macam bentuk implementasi pembelajaran terpadu, yaitu pembelajaran terpadu intra bidang studi dan pembelajaran terpadu antar bidang studi. Pembelajaran terpadu dikatakan intra bidang studi jika yang dipadukan adalah materi-materi (pokok bahan/sub pokok bahasan, konsep/sub konsep, keterampilan atau nilai) dalam satu bidang studi. Suatu pembelajaran yang memadukan materi membaca, menyimak, berbicara, dan menulis disebut pembelajaran terpadu intra bidang studi, misalnya, pembelajaran yang memadukan antara bidang studi Bahasa Indonesia, IPA, IPS, dan matematika.

Ditinjau dari cara memadukan materinya, pembelajaran terpadu dapat dilaksanakan dengan memperhatikan secara tegas batas-batas bidang studi satu dengan yang lain. Namun kadang-kadang batas-batas antara mata pelajaran yang satu dengan yang lainnya batasnya sangat samar, bahkan hampir tak tampak sekat yang membatasinya. Dalam prakteknya bila suatu tema telah ditetapkan, maka guru bersama murid mengkaji tema tersebut dari sudut pandang masing-masing bidang studi. Berdasarkan tema tersebut, guru bersama siswa menentukan unsur-unsur bidang studi yang bisa dipelajari tanpa harus ada tumpang tindih dengan bidang studi yang lain. Bila suatu tema telah ditetapkan, misalnya, lingkungan, siswa diajak mempelajari aspek bahasa, aspek IPA, IPS dari lingkungan tersebut. Sejalan dengan itu Wilson dkk., (1991:2), menyatakan bahwa keterpaduan dapat dilakukan melalui keterpaduan kurikulum di mana guru merencanakan pembelajaran bahasa untuk murid-muridnya dalam waktu bersamaan mereka juga belajar sesuatu yang lain seperti IPA, IPS, dan Matematika. Dijelaskan pula bahwa pembelajaran terpadu dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan pemahaman anak tentang fisik mereka dan lingkungan sosial mereka yang dapat mengambil bagian di mana anak-anak belajar bersama dan belajar bahasa. Jadi dalam hal ini beberapa anak mempunyai fokus berbicara dan belajar bersama, serta mengembangkan kemampuan pemahaman masing-masing. Mereka belajar dalam kelompok-kelompok. Dalam kelompok mereka bebas mengeluarkan argumentasinya.

Sehubungan dengan keterpaduan ini, Forgarty (1991:4-5) menyatakan 10 model. Model-model itu adalah sebagai berikut:
a. Model Fragmented
Model ini adalah pembelajaran yang dilaksanakan secara terpisah yaitu hanya terfokus pada satu disiplin mata pelajaran, misalnya, mata pelajaran Matematika, IPA, IPS, Bahasa, dan sebagainya yang diajarkan secara terpisah.

b. Model Terhubung (connected)
Model keterhubungan adalah model pembelajaran terpadu yang secara sengaja diusahakan untuk menghubungkan satu topik dengan topik yang lain dalam satu bidang studi, misalnya, menghubungkan konsep dengan kosep menulis dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.

c. Model Nested
Pembelajaran terpadu model nested adalah suatu model pembelajaran terpadu yang kaya dengan rancangan oleh kemampuan guru.

d. Model Sequenced
Sequenced adalah model pembelajaran terpadu di mana pada saat guru mengajarkan suatu mata pelajaran maka ia dapat menyusun kembali urutan topik suatu mata pelajaran dan dimasukkannya topik mata pelajaran lain ke dalam urutan pengajarannya itu, tentu saja dalam topik yang sama atau relevan. Pada intinya satu mata pelajaran membawa serta pelajaran lain dan sebaliknya.

e. Model Shared
Shared adalah suatu model pembelajaran terpadu di mana pengembangan disiplin ilmu yang memayungi kurikulum silang, contohnya, Matemaika dan IPA disejajarkan sebagai ilmu pengetahuan. Kesusastraan dan Sejarah digabung pada label kemanusiaan, seni, musik, menari dan drama di bawah payung kesenian yang pokok, teknologi komputer dan industri rumah tangga sebagai kesenian yang perlu dipraktikan.

f. Model Webed
Webed adalah model pembelajaran terpadu yang menggunakan pendekatan tematik. Pendekatan ini pengembangannya dimulai dengan menentukan tema tertentu misalnya, transportasi. Tema bisa ditetapkan dengan negosiasi antara guru dengan siswa, tetapi dapat pula dengan cara diskusi sesama guru. Setelah tema disepakati, kemudian dikembangkan sub-sub temanya dengan memperhatikan kaitan dengan bidang-bidang studi lainnya. Dari sub-sub tema ini dikembangkan aktivitas belajar yang dilakukan oleh siswa.

g. Model Threaded
Threaded adalah suatu model pendekatan seperti melihat melalui teropong di mana titik pandang (focus) dapat mulai dari jarak terdekat dengan mata sampai titik terjauh dari mata.

h. Model Integrated
Integrated adalah model pembelajaran yang menggunakan pendekatan antar bidang studi. Model ini diusahakan dengan cara menggabungkan bidang studi dengan cara menetapkan prioritas kurikuler dan menemukan keterampilan, konsep, prinsip, dan sikap saling tumpang tindih di dalam beberapa bidang studi.

i. Model Immersed
Model ini dimaksudkan dengan menyaring dari seluruh isi kurikulum dengan menggunakan suatu cara pandang tertentu. Misalnya, seseorang memadukan semua data dari berbagai disiplin ilmu (mata pelajaran) kemudian menampilkannya melalui sesuatu yang diminatinya dalam suatu ide.

j. Model Networked
Networked adalah model pembelajaran terpadu yang berhubungan dari sumber luar sebagai masukan dan semuanya meningkatkan yang baru dan meluaskan ide-ide atau mengembangkan ide-ide. Misalnya, seorang arsitek mengadaptasi teknologi untuk mendesain network dengan teknik program dan meluaskan pengetahuan dasar seperti dia telah mengerjakan secara tradisional dengan pendisain bagian dalam ruangan.


3. HAKIKAT PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
Pada hakikatnya belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia baik secara lisan maupun tertulis (Depdikbud, 1995:9). Kemampuan menggunakan bahasa dalam komunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan pendekatan dalam pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak. Untuk itu, dalam kurikulum pendidikan dasar 1994 rambu-rambu pembelajaran bahasa dianjurkan agar dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa yang mencakup aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan sastra Indonesia dapat dipadukan atau dikaitkan dengan mata pelajaran lain seperti IPA, IPS, dan matematika (Depdikbud, 1995:12).

Pendekatan terpadu dalam pembelajaran bahasa dilandasi pandangan bahasa holistik (whole language) yang memperlakukan bahasa sebagai sesuatu yang bulat dan utuh. Pada hakikatnya whole language merupakan falsafah pandangan atau keyakinan tentang hakikat belajar dan bagaimana anak belajar secara optimal (Akhadiah, 1994:10). Selanjutnya Weaver menyatakan bahwa whole language pada dasarnya merupakan falsafah pandangan atau keyakinan tentang hakikat belajar dan bagaimana anak dapat belajar secara optimal. Whole language memang bukan pendekatan perse namun dalam masyarakat orang sering menggunakan ungkapan pendekatan whole language. Ungkapan tersebut dimaksudkan sebagai lingkungan belajar mengajar yang mencakup kegiatan-kegiatan yang dengan jelas mencerminkan pandangan whole language (Weaver, 1990:3). Sistem landasan keterpaduan dalam pembelajaran bahasa menyatakan bahwa belajar bahasa akan lebih mudah terjadi jika bahasa itu disajikan secara holistik nyata, relevan, bermakna, serta fungsional, jika bahasa itu disajikan dalam konteks pembicaraan dan dipilih siswa untuk digunakan.

Belajar bahasa adalah belajar bagaimana menungkapkan maksud sesuai dengan konteks lingkungan orang tua, kerabat, dan kebudayaan. Terdapat interdependensi antara perkembangan kognitif dan perkembangan kemampuan bahasa, pikiran bergantung kepada bahasa dan bahasa bergantung pada pikiran. Secara teori kebahasaan whole language is whole. Pandangan ini tidak meremehkan satu ragam bahasa, dialek, ataupun bahasa karena status sosial penuturnya. Pemakaiannya berkaitan erat dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Bahasa hanya merupakan bahasa jika merupakan keseluruhan. Sedangkan Yeager (1991:1) menyatakan bahwa pembelajaran bahasa secara terpadu menaruh penghargaan terhadap bahasa dan dengan seksama meningkatkan penguasaan bahasa siswa. Selanjutnya Eisele menyatakan bahwa pada hakikatnya whole language itu bukan sesuatu apa/berbeda, dan ini bukan sebuah perangkat materi/bahan dan bukan sebuah resep untuk sukses. Whole language adalah suatu cara berpikir tentang bagaimana anak belajar bahasa-bahasa lisan dan bahasa tulisan (Eisele, 1991:3). Anak itu secara alamiah memperoleh bahasa lisan melalui mendengarkan (menyimak) dan berbicara. Selama tahun-tahun perkembangan ini, kesempurnaan itu diharapkan; anak-anak itu bebas berbuat kekeliruan. Orang dewasa mengerti dan menerima sebab mereka menyadari bahwa belajar itu perlu waktu dan latihan. Bagaimanapun ketika anak memulai membaca dan menulis, cepat berhasil itu sering diharapkan. Berkaitan dengan bahasa lisan, anak-anak perlu banyak latihan membaca dan menulis melalui pengalaman-pengalaman yang bermakna. Mereka juga perlu kebebasan untuk berbuat keliru dan belajar dari kekeliruan mereka itu. Oleh karena para guru whole language mengetahui bagaimana belajar bahasa, mereka memberikan waktu dan kesempatan belajar praktik untuk perkembangan baca-tulis. Tidak ada sebuah resep untuk program whole language, tetapi kelas ini untuk memadukan beberapa ciri saja. Para siswa di dalam kelas whole language akan melakukan (1) berkembang melalui tahap-tahap sesuai dengan perkembangan, (2) dilibatkan di dalam interaksi sosial sepanjang hari, (3) berbagai tanggungjawab untuk belajar mereka, (4) merasa senang mencoba dan praktik baca dan tulis tanpa takut kritikan, (5) mengevaluasi kemajuan mereka sebagai bagian alami dari semua pengalaman belajar.

Guru di dalam kelas whole language akan melakukan (1) memandang para siswa sebagai berkemampuan, (2) menjadi pengamat dan turut serta belajar saat mereka berinteraksi dengan para siswa, (3) mendemonstrasikan dan memberikan model bacaan dan tulisan, (4) berperan sebagai fasilitator untuk murid belajar, dan (5) memberi kepada siswa kekhususan, umpan balik yang positif.

Pembelajaran di dalam kelas whole language adalah (1) mengajarkan membaca dan menulis melalui pengalaman bacaan dan tulisan autentik, (2) berasumsi isi dan proses belajar adalah sama pentingnya, (3) mengimplementasikan aktivitas kelas yang dipusatkan kepada para siswa dan yang bermakna, (4) merangkumkan pemaduan proses bahasa dengan melintasi bidang-bidang isi (mata pelajaran), (5) memberikan bacaan berkualitas untuk membantu perkembangan literasi, (6) tujuan itu sebagai alat pemberdayaan siswa melalui kepemilikan dan pemilihan. Eisele juga menyatakan bahwa perubahan-perubahan positif dan menarik pada murid dan guru sebagai hasil dari penggunaan filosofi whole language. Perubahan-perubahan itu meliputi: (1) siswa di dalam kelas whole language untuk belajar. Kegairahan mereka memperlancar semangat guru untuk mengajar, (2) murid ikut mengambil tanggungjawab yang lebih besar atas belajar sebagai hasil dari pengelolaan kelas yang lebih baik dan lebih banyak waktu bagi guru untuk berinteraksi dengan siswa, (3) penggunaan buku yang diperdagangkan dan pengalaman penulis yang bermakna adalah lebih memberikan motivasi pada diri guru dan siswa, (4) guru akan lebih banyak belajar tentang lierasi dan proses bahasa anak-anak melalui pemanfaatan mereka di dalam pembelajaran sehari-hari, (5) kegairahan, semangat dan minat guru akan membuat guru memperoleh inspirasi dan pembaharuan pada penutupan pembelajaran setiap harinya, dan (6) umpan balik yang positif dari orang tua, anak, teman sejawat, dan tatausaha akan menjadi bonus tambahan bagi guru.

Pandangan whole language tentang kurikulum menjelaskan bahwa karena bahasa paling mudah dipelajari jika disajikan secara utuh dan dalam konteks yang alamiah, maka keterpaduan merupakan prinsip kunci untuk perkembangan bahasa dan belajar melalui bahasa. Dalam praktiknya perkembangan bahasa dan bidang studi merupakan dua pihak yang terpisah. Dalam hal ini Goodman dalam Akhadiah melihat bahwa guru harus melakukan tugas ganda. Mereka harus mengoptimalkan kesempatan siswa untuk menggunakan bentuk bahasa yang wajar pada waktu belajar IPA, IPS, Matematika, dan Sastra. Guru sekaligus menilai perkembangan bahasa dan perkembangan kognitrif. Kegiatan berbicara, mendengarkan, menulis, membaca, dan berbicara dalam konteks penjelajahan benda, peristiwa, gagasan, da pengalaman. Selanjutnya dinyatakan bahwa anak-anak harus merasakan bahwa mereka memilih proses yang mereka gunakan, yaitu merasakan bahwa kegiatan berbahasa itu milik mereka, ciptaan mereka sendiri, bukan sekedar pelaksanaan pekerjaan sekolah untuk menyenangkan guru. Konsep bahasa lintas kurikulum di sekolah dasar yang dilaksanakan dengan guru kelas tidak terlalu sulit untuk dilaksanakan. Namun, tentu saja pelaksanaanya memerlukan perancangan yang cermat.

Untuk menerapkan pembelajaran terpadu, guru-guru yang berpandangan whole language kerap kali menciptakan unit tematik yang mungkin dikembangkan sesuai dengan kebutuhan anak dan masyarakat (Akhadiah, 1994:14). Weaver (1990) menyatakan prinsip dan praktik whole language beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: (1) whole language adalah suatu pandangan yang berakar pada kenvergensi antara berbagai disiplin yang mencakup psikologi kognitif dan teori belajar, psikolinguistik dan sosiolinguistik, antropologi dan filsafat, serta pendidikan. Whole language merupakan pandangan tentang anak dan cara mereka belajar, (2) pandangan whole language didasarkan atas observasi bahwa anak-anak berkembang dan belajar dengan lebih mudah bila mereka aktif mengikuti purse proses belajar sendiri. Mereka akan lebih mudah menguasai berbagai konsep dan strategi serta konsep yang kompleks dalam menulis dan membaca, misalnya, bila mereka terlibat secara nyata dalam kegiatan membaca dan menulis teks yang sebenarnya betapapun singkatnya, (3) untuk memacu membaca dan menulis permulaan emergent reading and writing, whole language mencoba mencontoh strategi para orang tua yang dengan berhasil mendorong pemerolehan bahasa dan kemampuan baca tulissecara alamiah, (4) berdasarkan pengetahuan bahwa kemampuan baca tulis paling baik dikembangkan melalui penggunaan secara fungsional, maka pengalaman membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan diarahkan pada kegiatan bahasa nyata, (5) belajar dipacu melalui interaksi social. Diskusi, saling berbagi gagasan, kerjasama dalam memecahkan maslah dan melaksanakan tugas meningkatkan proses belajar, (6) siswa dipandang cakap dan sedang berkembang, (7) mendorong tumbuhnya sikap demokratis yang menerapkan teknologi tinggi, pemikir dan pelaku mandiri, kritis, dan mampu mengolah informasi (Weaver, 1990:22-26). Wilson menyatakan bahwa mempelajari bahasa lebih mudah apabila dipelajari secara utuh dan dalam konteks lingkungan. Integrasi merupakan kunci untuk pengembangan bahasa dan belajar melalui bahasa. Perluasan kurikulum berdasarkan atas pengetahuan lingkungan anak sendiri dan menggunakan bahasa dalam konteks yang bermakna (Wilson, 1994:1,7). Dalam pembelajaran bahasa di sekolah, guru tidak perlu memberikan tema-tema yang spesifik karena anak-anak belajar bahasa seperti mencari teman belajar tentang lingkungannya dan lingkungan keluarga sendiri. Shanon tentang whole language menyatakan bahwa emansipasi manusia sebagai tujuannya. Whole language merupakan wujud dari lawan terhadap prosedur dan isi pelajaran dari pembelajaran tradisional dan hal ini merupakan tindakan untuk membantu guru-guru dan murid untuk mengontrol kehidupan mereka melalui eksplorasi sendiri, ekspresi sendiri, dan mengerti sendiri (Shanon, 1999:1). Sedangkan menurut kementerian pendidikan Inggris, menyatakan whole language merupakan basis untuk belajar seumur hidup. Whole language merupakan filosofi yang berdasarkan interaksi sosial. Jadi whole language bukan mengajar teknik tetapi lebih mengutamakan praktik. Whole language merupakan suatu metode yang menggunakan demonstrasi yang diulang-ulang (London Board of Education, 1999:1).

Selanjutnya Routman menyatakan bahwa keterpaduan sudah terkandung dalam pembelajaran whole language (Routman, 1991:276). Keterpaduan bahasa adalah suatu pendekatan belajar dan cara berpikir yang menghargai keterhubungan dari proses bahasa itu seperti membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan sebagai keterpaduan pembelajaran yang berarti dalam segala bidang studi. Keterpaduan merupana pendekatan dalam belajar dan cara berpikir yang memandang proses berbahasa sebagai bagian integral dalam belajar di bidang apapun. Ini berarti bahwa khususnya di SD bahasa tidak dipelajari sebagai mata pelajaran seperti sains, misalnya, melainkan terpadu dalam penggunaannya untuk mempelajari apapun. Aspek-aspek keterampilan berbahasa dikembangkan secara langsung melalui kegiatan belajar dalam semua bidang. Agar dapat terjadi keterpaduan dalam pembelajaran dapat menggunakan unit tematik. Hal ini menjadi sarana keterpaduan di samping memberikan makna bagi anak.

Dalam pelaksanaan pembelajaran, dari semua tema itu diturunkan gagasan atau pengertian yang harus dipelajari anak melalui kegiatan belajar dalam berbagai biodang studi. Dinyatakan pula bahwa suatu unit tematik dapat merupakan unit terpadu hanya jika tema itu bermakna, relevan dengan kurikulum dan kehidupan anak, sejalan dengan prinsip bahasa holistik, dan autentik dalam hubungannya dengan proses keterampilan berbahasa. Dalam hal ini, keterpaduan tidak harus selalu merupakan keterpaduan antar bidang studi. Keterpaduan antar bidang studi hanya dilakukan bila keterpaduan itu memperkaya dan memperluas proses belajar anak.

Dengan demikian, secara kasar keterpaduan dapat dibedakan sebagai keterpaduan intra bidang studi dan keterpaduan antar bidang studi. Dalam keterpaduan intra bidang studi, misalnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia, setelah tema ditentukan, kemudian dikembangkan aspek keterampilan membaca, menulis, berbicara, dan menyimak. Sedangkan keterpaduan antar bidang studi, anak-anak belajar menggunakan aspek-aspek keterampilan bahasa melalui kegiatan belajar dalam berbagai bidang studi. Mereka belajar menggunakan bahasa untuk berbagai keperluan, seperti untuk mencari atau memberikan informasi, mengungkapkan perasaan atau tanggapan, mengaanalisis, serta memecahkan permasalahan.

4. Hakikat Guru sebagai Model Berbahasa di Kelas
Dalam berbahasa baik lisan maupun tulisan, anak-anak perlu banyak latihan membaca dan menulis melalui pengalaman-pengalaman yang bermakna. Mereka juga perlu kebebasan untuk berbuat keliru dan belajar dari kekeliruannya. Guru dalam hal ini harus memberikan waktu dan kesempatan belajar praktek untuk perkembangan baca-tulis seluas-luasnya. Untuk kelancaran belajar anak, peran guru dalam pembelajaran bahasa adalah mendemonstrasikan dan sebagai membaca dan menulis (Eisele, 1991:4). Sebagai model, guru selama proses pembelajaran maupun di luar proses pembelajaran selalu menggunakan bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku yang merupakan bahasa yang benar atau betul (Depdikbud, 1993:19). Di dalam proses pembelajaran, guru sebagai model selalu aktif mendemonstrasikan dan memberikan model/ menjadi model bacaan dan lutisan untuk para siswanya. Bandura dalam Gunarsa menyatakan faktor yang penting untuk meniru sesuatu tingka laku melalui pengamatan, yakni proses kognitif. Dengan mengamati tingka laku orang lain, anak membentuk suatu konsep bagaimana pola tingkah laku yang diamati itu diperlihatkan. Konsep ini yang sebenarnya merupakan kegiatan mensimbolisasikan sesuatu menjadi dasar dan pola untuk perbuatan atau tingkah laku yang akan diperlihatkan kelak. Belajar dengan mengamati model ini, bukan hanya meniru model, melainkan juga semua bentuk instruksi verbal. Jadi anak mempelajari sesuatu melalui instruksi verbal yang disebut simbolik-imitasi. Hal ini berhubungan dengan perkembangan bahasa anak yang merupakan rangkaian mensimbolosasikan dan kemampuan mengucapkan kembali perkataan atau kalimat sebagai hasil mempelajari sesuatu melalui peniruan (Gunarsa 1981:122-124).

Selanjutnya Bandura juga menyatakan empat komponen belajar dengan mengamati sebagai berikut: (1) perhatian terhadap model harus ada sebelum melakukan peniruan. Oleh karena itu model harus ada sesuatu yang bisa menarik perhatian sebagai objek untuk diamati dan ditiru dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam bertingkah laku dan berbahasa, (2) pencaman, yakni adanya kemampuan untuk mencamkan atau mengingat perilaku yang dilihatnya secara simbolis. Objek yang diamati menimbulkan rangsangan visual disamping juga rangsangan verbal, (3) Reproduksi motorik, yakni kemampuan-kemampuan motorik dalam batas waktu tertentu harus sudah ada atau sedah berkembang, dan (4) ualangan penguatan dan motivasi.

Timbulnya keinginan untuk meniru tingkah laku model, karena dengan meniru ia akan memperoleh sesuatu. Sehubungan dengan ini model harus memperlihatkan kelebihan dan kekuatan, misalnya seorang guru sekolah. Tingkah laku model telah jelas terbukti memberikan kepuasan (hadiah, kehormatan, kehebatan, kemenangan). Ada hubungan yang hangat antara model dengan anak. Miler dalam Gunarsa menyatakan bahwa pada mulanya terjadi peristiwa coba-mencoba meniru tingkah laku yang diperlihatkan orang lain. Pada pertama kali anak memperlihatkan tingkah laku hasil meniru, maka segera dilakukan pengulangan. Pengulangan ini yang biasa disebut self-reinforcing atau penguatan yang timbul dari si peniru yang disebut penguatan diri. Misalnya seorang anak mengatakan terhadap dirinya sendiri ucapan gurunya atau ibunya yang memujinya atau yang menyenagkannya. Badudu menyatakan bahwa seorang guru bahasa Indonesia haruslah menjadi contoh yang baik, bagaimana seharusnya menggunakan bahasa Indonesia itu. Selain itu, sebelum guru bahasa Indoensia membina murid-muridnya, terlebih dahulu harus membina dirinya sendiri. Sebagai seorang guru yang baik haruslah menguagsai bidang yang diembannya itu sebaik-baiknya. Seorang guru yang baik haruslah kreatif dan berusaha agar murid-murid sebagai anak didiknya juga kreatif (Badudu, 1985:72-73).

5. HAKIKAT SISWA KELAS III SEKOLAH DASAR
Siswa kelas III sekolah dasar adalah siswa yang berusia antara 7-11 tahun. Piaget dalam Santrock menyatakan bahwa periode ini disebut periode operasional konkret (Santrock, 1997:42). Selanjutnya Piaget menyatakan bahwa periode ini sebetulnya disiapkan untuk menghadapi puncak perkembangan kognisi yaitu operasi. Peraturan-peraturan, fungsi-fungsi, dan identitas-identitas berubah menjadi berbagai operasi karena mereka menjadi lebih lengkap, berdiferensi, kuantitatif dan stabil. Operasi adalah suatu tindakan yang di internalisasikan yang merupakan bagian dari struktur yang terorganisasi. Dengan kemampuan menggunakan operasi-operasi atau konsep-konsep ini maka representasi anak tidak terisolasi lagi atau diajarkan secara sederhana, seperti halnya pada periode praoperasional, tetapi saat ini menjadi hidup, misalnya anak saat ini telah mampu melakukan tugas-tugas konservasi, relasi, representasi waktu dan tempat serta lainnya. Pada saat inilah logika yang sebenarnya mulai digunakan anak. Walaupun pada masa praoperasional anak-anak telah menguasai fungsi simbolik (mereka dapat menggunakan representasi mental untuk suatu objek), namun pembelajaran mereka terikat erat dengan pengalaman yang bersifat fisik. Anak yang telah sampai pada tahap operasional sudah jauh lebih baik dan lebih mampu untuk melakukan klasifikasi, memainkan angka-angka, menghadapi konsep waktu dan tempat, serta memisahkan realitas dari khayalan. Pada periode berpikir ini pula, anak-anak mulai mampu melakukan pemisahan, mereka memperhitungkan berbagai aspek yang ada sebelum mengambil suatu kesimpulan, dan tidak lagi hanya terpukau kepada satu aspek saja seperti pada pemikiran yang bersifat praoperasional. Mereka meningkatkan pengertian bahwa adanya sudut pandangan orang lain memungkinkan mereka untuk berkomunikasi secara efektif dan memungkinkan mereka untuk bersikap lebih luwes dalam sikap moral mereka. Meskipun cara berpikir anak usia sekolah sudah lebih logis dibandingkan dengan anak usia prasekolah, namun cara berpikir mereka tetap saja masih berakar kepada kekinian. Baru pada masa remajalah seseorang dapat benar-benar berpikir abstrak, membuktikan hipotesisnya, dan melihat berbagai kemungkinan, yaitu jika ia telah mencapai tingkat operasional formal.

Selanjutnya Vigotsky dalam Akhadiah seperti juga Piaget percaya bahwa fungsi-fungsi mental dipelajari melalui hubungan social. Anak belajar dengan cara menghayati apa yang terjadi di sekitarnya. Anak-anak mengolah dan meresapi apa yang terjadi di sekitarnya. Anak-anak mengolah dan meresapi segala sesuatu yang dialaminya dan memadukannya dengan struktur pengetahuan yang telah dimilikinya. Dengan cara demikian maka pengetahuan dan kemampuan mereka berkembang (Akhadiah, 1991:7).

Masa ini disebut juga masa usia sekolah karena pada masa inilah anak paling peka dan paling siap untuk belajar. Mereka ingin menciptakan sesuatau, bahkan bukan sekedar mencipta, tetapi berusaha untuk membuat segala sesuatu sebaik-baiknya. Pada usia 7-10 tahun, tangan mereka sudah lebih kukuh. Mereka lebih suka menggunakan pensil daripada krayon untuk menggambar. Ukuran gambar mereka sudah lebih kecil dari sebelumnya. Kedua tangan lebih bebas digunakan dengan gerakan yang lebih lentur dan tepat. Koordinasi gerakan halus meningkat sehingga anak lebih mudah menulis sambung dari pada menulis cetak, dan tulisan menjadi lebih kecil dan lebih rapi (Hadist, 1995:360-361).

Sedangkan Seefeld menyatakan anak usia 8 tahun menjelaskan bahwa anaka tersebut adalah anak yang telah mampu mengembangkan wawasannya dalam beberapa cara yang menyenangkan dan lucu (Seefeld, 1990:60). Mereka selalu ingin tahu dunianya dan ada kalanya memasuki percakapan orang tuanya. Mereka masih memerlukan bimbingan atau bantuan, tetapi kadang-kadang menolak menerima bantuan jika hal itu bertentangan dengan grupnya sendiri. Dijelaskan pula bahwa anak usia tersebut mempunyai cirri perkembangan fisik yang selalu siap dan membuat kemajuan yang reguler baik gerakan halus maupun kasar. Kesenangan dan kesempatan memberi/menimbulkan varisasi yang banyak dalam kemampuan mereka. Pada usia ini anak mempunyai kelebihan energi dalam hal ini biasanya ingin mencoba kemampuan yang baru dan mempraktekannya. Anak usia ini telah dapat naik sepeda, lari, lompot, memanjat dengan kemauan yang besar dan dengan akurasi tinggi.

Dalam perkembangan sosialnya anak telah terjadi kemajuan dalam interaksi sosialnya. Bentuk persahabatan dimulai dengan berteman yang akrab dan pada akhir periode masa perkumpulan yang kuat dengan kelompok seusianya telah terbentuk, dengan ciri antara lain membuat mode baju, berjalan dan berbicara seperti kebiasaan kelompoknya.

Perkembangan emosi pada anak usia ini sudah mulai memisahkan dengan keluarganya dan mereka membuat persahabatan yang baru, membentuk kelompok yang baru. Mereka mengembangkan kemampuan, melihat sesuatu, perspektif yang lain dapat lebih empatik, sensitife serta perasaanya mudah tersinggung, dan tidak mau dikritik. Perkembangan kognitif pada masa ini adalah masa konkret. Mereka dapat menggunakan kemampuannya pada masa yang lebih awal dan mempraktikannya pada problem yang lain. Anak pada fase ini telah mampu mengembangkan eksplorasi lingkungannya melalui melihat, meraba, mengecap dan sebagainya.

Perkembangan sosial anak pada usia sekolah diwarnai dengan adanya hubungan dengan keluarga, teman sebaya dan dengan sekolah (Hadist, 1995:384-395). Di dalam keluarga peran orang tua pada anak usia sekolah di antaranya memberi penekanan kemandirian pada anak agar tidak tergantung pada orang tua, merancang tugas-tugas rumah tangga yang dapat dilakukan anak. Sedangkan teman sebaya berpengaruh baik dan buruk. Pengaruh baik teman sebaya adalah dalam hal pengembangan konsep diri dan pembentukan harga diri. Teman sebaya membantu anak membentuk opini tentang dirinya dengan melihat dirinya seperti apa yang dilihat orang lain. Hal ini merupakan dasar untuk perbandingan kemampuan yang realistik. Pengaruh buruk teman sebaya antara lain dalam bentuk memaksakan nilai-nilai, ancaman, dan pemerasan.

Anak usia sekolah biasanya mempunyai sahabat. Sahabat bagi mereka adalah teman yang akrab yang dapat berbagi rasa, mempunyai minat yang sama, suka mencari informasi yang sama, bahkan mempunyai rahasia bersama. Sahabat adalah teman khusus bukan sekedar teman sebaya. Persahabatan sangat penting bagi anak usia sekolah dan mempunyai fungsi memberikan kebersamaan, stimulasi, bantuan secara fisik, dukungan ego, sebagai pembanding secara sosial, dan memberikan keintiman/afeksi. Seorang sahabat adalah partner yang mau menghabiskan waktu bersama, melakukan aktivitas bersama, dan bergabung dalam permainan yang bersifat kerjasama dengan teman-teman lain.

Guru dan teman sebaya (teman sekelas) sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan anak. Guru merupakan lambang dari otoritas dan ialah yang menetapkan suasana di kelas, mengatur kondisi interaksi antar siswa dan mengatur peran kelompok. Seorang guru yang baik harus mampu menimbulkan etos kerja dalam diri anak didiknya, dan tidak mengembangkan rasa rendah diri dalam diri murid. Guru harus pula pandai mengatur kapan anak-anak belajar dan bekerja, kapan anak boleh bermain. Guru harus pula dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi anak didik. Guru harus pula dapat memahami karakteristik anak didik karena hubungan antara karakteristik anak didik dengan perlakuan guru terhadap anak didik harus sesuai sehingga pembelajaran akan berlangsung dengan lancar.


6. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pada pelaksanaan pembelajaran guru menggunakan pokok-pokok pikiran tentang lingkungan, hiburan, pergaulan, kebiasaan, tempat umum, dan persahabatan. Dengan demikian guru dalam melaksanakan pembelajaran menggunakan tema sebagai pengikat pembelajaran sebab lingkungan, hiburan, pergaulan, kebiasaan, tempat umum, dan persahabatan adalah teman-teman pembelajaran dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

Pemilihan dan penetapan tema dilakukan oleh guru sendiri tanpa melibatkan murid. Hal ini memang tidak bertentangan secara teoretis, karena guru boleh saja memilih dan menetapkan tema menurut minatnya. Upaya guru untuk mengaktifkan proses pembelajaran dilakukan dengan melengkapi alat peraga dan menyiapkan teks bacaan, ini sesuai dengan peran guru sebagai fasilitator dan dinamisator.

Dalam penyampaian materi, pembelajaran dipadukan baik secara intra bidang studi seperti aspek membaca, menyimak, berbicara, dan menulis dan sekaligus antar bidang studi seperti dengan materi IPA, IPS, PPKn, dan Kesenian dengan cukup luwes sehingga tidak tampak batas antara bidang studi satu dengan yang lain.

Dengan bahasa verbal yang diwarnai dialek Betawi, komunikasi antara guru dengan murid menjadi lancar dan materi diri guru cepat dipahami murid. Jadi selama proses pembelajaran guru menyesuaikan dengan lingkungan hidup anak agar hasilnya sesuai dengan peristiwa dan keadaan yang dihadapi anak sehari-hari. Kemudian pada saat menjelaskan materi pelajaran guru menggunakan pertanyaan dan pernyataan dalam bahasa verbal dengan kalimat yang belum lengkap dan respons belajar murid menjadi aktif dan hidup. Jadi dalam aktivitas itu terjadi perubahan tingkah laku karena belajar meskipun dalam tingkat yang sederhana. Dengan demikian aspek keterampilan berbahasa sebelum dan pada saat pembelajaran guru menjadi model, sebab kesalahan berbahasa anak dapat disebabkan oleh kekeliruan guru sebagai model berbahasa.

Menyangkut aktivitas belajar anak, pada saat anak-anak belajar aspek menulis dan berbicara secara individual pada tema lingkungan guru sebelumnya memberi tugas untuk mengamati lingkungan rumah. Kemudian anak menuliskan hasil pengamatannya lalu menceritakannya dengan bahasa sendiri dan guru memberikan umpan balik. Jadi guru dalam pembelajaran ini memandang anak sebagai orang yang memiliki kemampuan, bebas melakukan kesalahan. Selanjutnya guru memberikan bimbingan sehingga anak menemukan kesalahannya dan membetulkannya sendiri.

B. Saran
Dari pihak subjek, penataran mengenai pembelajaran terpadu dalam pembelajaran bahasa Indonesia sangat diperlukan dengan segera baik secara teoretis maupun berupa pelatihan-pelatihan dalam penerapannya. Penataran atau pelatihan tersebut hendaknya dilakukan oleh para pakar pembelajaran terpadu agar hasilnya maksimal. Kemudian tentang penyusunan kurikulum hendaknya lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan anak sehingga bermakna bagi kehidupan anak.

Hasil penelitian ini dapat membuktikan bahwa pembelajaran terpadu dalam pembelajaran bahasa Indonesia sangat relevan dengan kebutuhan perkembangan dan sangat bermakna bagi anak. Oleh karena itu alangkah baiknya apabila para pakar khususnya para pakar pendidikan ikut serta aktif dalam memasyarakatkan pembelajaran terpadu ini secara langsung ke sekolah-sekolah.

Dari pihak guru, perlu sekali menyusun buku teks/ bahan ajar pembelajaran bahasa Indonesia dalam rangka pelaksanaan pembelajaran terpadu karena guru lebih mengetahui kebutuhan anak sesuai dengan lingkungan anak maupun lingkungan sekolah itu sendiri dengan bekerjasama dengan kepala sekolah dan orang tua dalam pengadaannya.


DAFTAR PUSTAKA
Akhadiah, Sabarti, Bahasa Indonesia I, Jakarta: Depdikbud, 1991.
————————, Pedoman Pelaksanaan Pembejaran Bahasa Indonesia untuk SD Kelas II, Jakarta: Depdikbud, 1996.
————————, Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas Awal SD: Sebuah Kajian Teoretis ke Arah Pembaharuan, Jakarta: Lembaga Penelitian, 1994.
Aswin, Fauzia, Psikologi Perkembangan Anak, Jakarta: Depdikbud, 1995.
Badudu, J.S., Cakrawala Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1985.
Bredekamp, Sue., Developmentally Appropriate Practice in Early Childhood, Programs Serving Children from Birth Through Age 8. Washington: National Association for the Educational of Children, 1987.
Bogdan, Robert and Steven J. Taylor, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Terjemahan A. Koen Afandi, Surabaya: Usaha Nasional, 1993.
Bogdan, Robert C. and Sari Knopp Biklen, Riset Kualitatif untuk Pendidikan: Pengantar ke Teoari dan Metode, Terjemahan Munandar, Jakarta: Depdikbud, 1990.
Collins, G. and Hazel Dixon, Integrated Learning Planned Curriculum Units, Gosford: Bookshelf Publishing Australia, 1991.
Dahar, Ratna Wilis, Teori-Teori Belajar, Jakarta: Erlangga, 1989.
Dardjowidjojo, Soejono, et al. Buku Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993. Tata Bahasa
Depdikbud, Materi Pokok Pembelajaran Terpadu D-II PGSD, Jakarta: Ditjen Dikti, 997.
Eisele, Beverly, Managing the Whole Language Classroom: A Complete Teaching Resource Guide for K-6 Teachers, Cypress: Creative Teaching Press, Inc., 1991.
Forgaty, Robin, The Minful School How to Integrate the Curricula, Illinois: IRI/Skylight Publishing, Inc., 1991.
Glaser, Barny G. and Anselm L. Straus, The Discovery of Grounded Theory Strategies for Qualitative Research, New York: Aldine Publishing Company, 1980.
Gunarsa, Singgih D., Dasar-Dasar Teori Perkembangan Anak. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981.
Haryadi dan Zamzani, Peningkatan Keterampilan Berbahasa Indonesia, Jakarta: Depdikbud, 1996.
Ikeguchi, Cecilia B., Teaching Integrated Writing Skills, Tokyo: Kasai Gakuin: Tsukuba Women’s University, yapan, 1997. (ww4s-ikgc@asahi-net.or.jp http/www.kasei.ac.jp/staff/Cecilia/index-html)
Yeagar, David Clark, The Whole Language Companion, Illinois: Scot, Foresman and Company, 1991.
Mathews, B.J., Learning Through an Integrated Curriculum Approaches and Guidelines, Victoria: Ministry of Education, 1986.
McClosky, Mary Lou, Developing Integrated Language Learning: Teaching Curricula with Middle/High School ESOI Program, Third National Research Symposium on Limited English Proficient Students Issues: Focus on Middle and High School Issues. Georgia: Multifunctional Resource Center, Atlanta, 1988.
Moleong, L.J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990.
Moedjiono dan Moh.Dimyati, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Depdikbud, 1993.
Nasution S., Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif, bandung: Tarsito, 1992.
Pappas, Christine C., Barbara Z Kiefer, dan Linda S Levstik, An Integrated Language Perspective in the Elementary School Theory into Action, London: Longman Group Ltd., 1990.
Rofi’uddin, Ahmad dan Darmiyati Zuhdi, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Tinggi, Jakrta: Depdikbud, 1999.
Routman, Regie, Invitation Changing as Teachers and Learners K-12, Toronto: Irwin Publishing, 1991.
Santrock, John W., Life-Span Development, Chicago: Times mirror Higher Education Group Inc., 1997.
Semiawan, Conny R. dan Raka Joni, Pendekatan Pembelajaran: Acuan Konseptual Pengelolaan Kegiatan Belajar-Mengajar di Sekolah, Jakarta: Konsorsium Ilmu Pendidikan, Depdikbud, 1993.
Shanon, Whole Language: The Debate, 1999. (http.dir.yahoo.com/Education/Journals)
Spreadley, James P., Participant Observation, New York: Holt, Rinehart and Winson,1980.
Sumantri, Mulyani dan Johar Permana, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Depdikbud, 1999.
Weaver, Constance, Understanding Whole Language from Principles to Practice, Portmounth: Heineman, 1990.
Williams, David, Penelitian Naturalistik, Terjemahan L.J. Moleong, Jakarta: FPS, IKIP Jakarta, 1995.
Wilson, Lorraine, et al. An Integrated Approach to Learning, Melbourne: Robert Anderson & Association Ltd., 1991.
Zuhdi, Darmiyati dan Budiasih, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Rendah, Jakarta: Depdikbud, 1996.

http://pustekkom.depdiknas.go.id/index.php?pilih=hal&id=74

Advertiser