-->

Sunday, January 24, 2010

Dilema Pendidikan di Indonesia

Krisis multidimensional yang melanda Indonesia, menurut J. Riberu, dosen Emeritus UI yang juga dosen Universitas Atma Jaya, membuka mata kita ter-hadap kapasitas mutu sumber daya manusia (SDM) kita, dan dengan sendirinya terhadap mutu pendidikan yang menghasilkan SDM itu. Faktor
penyebab krisis memang kompleks, tetapi faktor utamanya adalah SDM kita yang kurang bermutu. SDM kita belum cukup profesional, belum memiliki keterampilan manajerial yang andal. Yang paling merisaukan, SDM kita sering bertindak tanpa moralitas. Menurut IMD (2000), Indonesia menduduki peringkat ke-45 (dari 47 negara) dalam hal daya saing. Padahal, Singapura berada pada posisi 2, dan Malaysia serta Thailand masing-masing pada urutan ke-25 dan ke-23. Daya saingditentukan oleh mutu
SDM. Ditinjau dari segi mutu SDM, Indonesia menduduki peringkat 46. SDM Indonesia ternyata kurang menguasai sains dan teknologi, dan kurang mampu secara manajerial. Dalam kedua hal ini, Indonesia mendapat nomor urut 42 dan 44. Penelitian lain mengungkapkan, masih menurut J. Riberu, rendahnya produktivitas SDM Indonesia
dikarenakan kurang percaya diri, kurang kompetitif, kurang kreatif, dan sulitberprakarsa sendiri. Hal itu disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down, dan yang tidak mengembangkan inovasi dan kreativitas. Di samping itu, kita semua harus malu karena banyak pusat kajian menggolongkan Indonesia pada kelas amat wahid dalam hal korupsi. Padahal, korupsi berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan, kebohongan, ketidakjujuran, bahkan dengan ketidakadilan dan pemerasan. Semua itu
tanda-tanda kemerosotan, bahkan kebejatan moral. Memang, tidak adil apabila kita hanya mempersalahkan dunia pendidikan. Pasalnya, kemerosotan turut dipengaruhi oleh faktor lingkungan, khususnya lingkungan pergaulan dan juga media massa, yang bisa diartikan dengan bahan bacaan atau serapan yang ada di sekelilingnya. Namun, tetap benar jika diasumsikan bahwa institusi yang ex officio
bertanggung jawab terhadap pembinaan SDM adalah dunia pendidikan. Oleh karena itu, penting sekali negara berkembang seperti Indonesia mengikuti nasihat peneliti McDougall: invest in man not in plan. Supaya investasi dalam pengembangan manusia dapat berhasil, kita harus mengatur kembali dunia pendidikan kita, bukan secara tambal sulam, melainkan secara menyeluruh dan mendasar. Kita membutuhkan satu revolusi di bidang pendidikan. Kita harus menjungkirbalikkan paham dan nilai yang
ada, menggeser, serta mengubah paradigma yang keliru.

Belajar, Untuk Apa?
Pada tempat pertama, tambah J. Riberu, semua kegiatan pendidikan harus diarahkan dengan jelas dan tegas kepada tujuan pendidikan. Kita belajar bukan untuk sekolah (non scholae), tetapi untuk hidup(sed vitae discimus). Sistem pendidikan di Indonesia sudah mengubah sama sekali adagium kuno ini. Kita belajar bukan untuk hidup, melainkan untuk sekolah. Sekolah menentukan kurikulum dan silabus.
Sekolah menentukan metode belajar-mengajar. Sekolah menentukan ulangan, ujian, kelulusan, wisuda, sampai dengan pakaian (bahkan sepatu) seragam. Sekolah menentukan uang pangkal, uang sekolah, serta sumbangan ini dan itu. Masyarakat mengikuti apa yang ditentukan sekolah, tanpa mempertanyakan secara kritis apa manfaat semuanya itu, khususnya jika ditinjau dari segi pencapaian tujuan pendidikan. Banyak hal yang ditentukan sekolah merupakan ritus hampa, meminjam istilah yang
digemakan oleh Ivan Illich, yang sama sekali tidak berkaitan dengan tujuan pendidikan. Mari kita mengambil contoh mata ajaran Pendidikan Agama (dapat ditambah dengan P4 pada zaman dahulu dan Budi Pekerti). Dua jam per pekan, sekian puluh jam per tahun, sekian ratus jam per jenjang sekolah. Akan tetapi, hasilnya? Mengecewakan! Kita memperoleh sekian banyak orang yang menghafal dan mungkin juga memahami ajaran dan tradisi keagamaannya, tetapi sama sekali tidak
menjalankannya di dalam hidupnya. Padahal, tujuan pendidikan agama bukannya penumpukan pengetahuan tentang agama, melainkan pembinaan sikap dan perilaku seorang yang beriman sejati. Tujuan ini dapat tercapai tanpa menjejalkan sekian banyak pengetahuan ke dalam benak (atau bahkan ingatan!) murid. Berkaitan dengan tujuan pendidikan, paradigma lama terlalu abstrak dan kurang “operasional”, maka ia harus lebih dikonkritkan. Tujuan pendidikan adalah kepribadian mandiri yang mampu menata
kehidupan dan penghidupannya di dalam situasi dan kondisi hidup konkret dan kontemporer.
Kemampuan menata kehidupan dan penghidupan diperoleh karena murid menguasai satu jenis pekerjaan sebagai sumber nafkah. Dengan demikian, ia dapat memasuki pasar kerja atau menciptakan lapangan kerjanya sendiri. Menguasai satu jenis pekerjaan merupakan tujuan penting yang tidak boleh
diabaikan. Sistem pendidikan tidak berkewajiban mencari atau memberikan lapangan kerja kepada murid. Akan tetapi, ia berkewajiban mempersiapkan murid untuk memasuki lapangan kerja tertentu atau menciptakan lapangan kerjanya sendiri.
Keterkaitan antara pasar kerja dan pendidikan merupakan masalah besar yang harus ditanggapi secara serius. Tiap hari koran-koran menawarkan berbagai lapangan kerja. Akan tetapi, para pelamar
“mundur teratur”. Hal ini karena mereka merasa tidak sanggup memenuhi persyaratan yang dituntut. Sekolah sama sekali tidak menyiapkan mereka untuk itu. Sekolah tidak merasa perlu mendidik orang yang fasih berbahasa Inggris, padahal banyak iklan menuntut: fluent in English. Masyarakat modern membutuhkan orang-orang yang melek komputer, walaupun untuk kedua hal tersebut, Bahasa Inggris dan komputer, saat ini sangat digalakkan

Advertiser