Oleh Mochtar Buchori dikutip dari http://paramadina.wordpress.com/category/pendidikan-nasional/
Ketika saya masih di SD, saya bersekolah di suatu “Sekolah Pribumi Kelas
Dua” (Tweede Inlandsche School). Di sekolah ini pendidikan budi pekerti
(singkatan resminya PBP) disampaikan melalui cerita-cerita atau dongeng.
Setiap dongeng selalu ditutup dengan kara-kata “Liding dongeng, ……”Artinya: “Inti ceritera: …………” Di bagian ini lah moral ceritera dirumuskan. Dalam zaman Pendudukan Jepanag, ketika saya menjadi murid suatu Sekolah Guru, PBP diberikan dalam bentuk indoktrinasi. Dan dalam zaman reformasi ini, fungsi PBP diambil alih oleh pendidikan agama, dan dilaksanakan melalui khotbah atau nasihat. Bagaimana PBP ini sebaikya dilaksanakan dalam situasi serba-krisis yang sedang dihadapi bangsa sekarang
ini?
Inilah pertanyaan dasar yang terdapat dalam suatu pertemuan tentang PBP. Pertemuan ini dihadiri oleh sekitar 80 guru dari berbagai jenis sekolah, dan mereka datang dari berbagai pelosok di Indonesia. Pertemuan ini disebut Temu Warga Sekolah. Saya diminta hadir sebagai narasumber bersama-sama Bp. Daud Yusuf.
Pidato pengantar yang disampaikan oleh salah seorang anggota Panitya Penyelenggara menyarankan, agar pendidikan budi pekerti dipikirkan dalam rangka mengatasi krisis bangsa yang sedang kita alami sekarang ini. Diharapkan, agar pembicaraan dalam temu warga sekolah ini membahas cara-cara menyelenggarakan PBP yang pada suatu saat nanti akan melahirkan generas-generasi baru yang mampu mengelola negara dan bangsa ini dengan cara-cara yang lebih baik. Pendekatan ini saya sebut “Pendidikan Budi Pekerti dalam Konteks Regenerasi Bangsa.”
Dalam pandangan saya PBP untuk keperluan regenerasi bangsa perlu diselengga-rakan dengan cara-cara yang berbeda daripada cara-cara konvensional yang dipergunakan selama ini. Mengapa? Karena PBP konvensional bertujuan utama melahirkan individu-individu yang salih, bermoral, berbudi pekerti luhur, dan sebaginya. Sedangkan PBP untuk renegerasi bangsa bertujuan utama melahirkan generasi-generasi yang berwatak dan cakap. Dengan kata-kata lain, PBP konvensional mengacu kepada moralitas individual, sedangkan PBP untuk regenerasi bangsa mengacu kepada moralitas kolektif.
Perbedaan ini sangat esensial. Segenap kemelut bangsa yang kita alami sekarang ini dalam pandangan saya lahir dari lemahnya moralitas kolektif tadi dalam masyarakat kita. Menghadapi segenap ketidak-adilan yang terjadi dalam masyarakat, kebanyakan dari kita bersikap mengambil jarak: Saya terkena atau tidak? Untuk apa ribut-ribut, kalau suatu ketidak-adilan tidak menyentuh diri saya? Sikap ini lahir dari kuatnya tradisi moralitas individual tadi dan lemahnya moralitas kolektif dalam masyarakat kita. Antara kedua jenis moralitas ini tidak ada keseimbangan dan juga tidak ada
ketersambungan.
Sejalan dengan perbedaan di atas perlu dikatakan, bahwa PBP konvensional mengutamakan pembinaan kepribadian perorangan, dan tidak memperhatikan pembinaan kepribadian kelompok. Dan kepribadian bangsa adalah bentuk terakhir dari kepribadian kelompok dalam masyarakat kita. Berbagai dampak negatif dari globalisasi yang mucul dalam masyarakat kita sekarang ini lahir dari tidak adanya kepribadian bangsa dalam mengikuti kehidupan yang sudah terseret oleh arus globalisasi sekarang ini.
Perbedeaan kedua antara PBP konvensional dengan PBP untuk regenerasi bangsa terletak pada cari memaknai kata ‘moral’, ‘moralitas’, dan ‘pendidikan moral’. Dalam PBP konvensional ‘pendidikan moral’ terbatas pada kegiatan untuk membimbing para siswa mengenal norma-norma etika, dan tidak menyentuh masalah pangamalan nilai-nilai tadi. Dalam PBP untuk regenerasi bangsa
konsep ‘moralitas’ dan ‘pendidikan moral’ diperdalam, tidak hanya menganai pengenalan nilai-nilai, tetapi diteruskan sampai ke pemahaman, penghayatan,
dan pengamalan nilai-nilai. Ada perbedaan dalam asumsi antara kedua jenis PBP ini. Dalam PBP konvensional asumsi yang dipergunakan ialah, bahwa mengenal nilai-nilai secara otomatis akan mengantar anak ke pengamalan nilai-nilai. Dalam PBP untuk regenerasi bangsa asumsi yang dipergunakan ialah bahwa antara mengenal nilai-nilai dan mengamalkan nilai-nilai terletak suatu jarak mental yang cukup panjang, yang penuh dengan hambatan-hambatan. Mengatasi hambatan-hambatan mental ini hanya akan terjadi kalau ada bimbingan dari para pendidik.
Hanya PBP yang secara sadar dan sengaja berusaha membimbimg seluruh siswa menjalani proses mental yang panjang ini akan melahirkan generasi yang memiliki moralitas kolektif dan kepribadian kelompok. PBP yang hanya mengandalkan khotbah, nasihat, dan indoktrinasi tidak akan mampu melahirkan generasi yang memiliki moralitas kelompok, watak kelompok, dan watak bangsa.
Di samping itu PBP konvensional juga melupakan kenyataan, bahwa moralitas yang tidak disangga oleh realisme akan menghasilkan moralitas yang naif. Reinhold Niebuhr (1892-1971) memperingatkan, bahwa “Morality without realism is naivite or worse, and realism without morality is cynicism or worse.” Dan regenerasi bangsa hanya akan dapat dilaksanakan oleh generasi yang memiliki moralitas yang realistik ini. Moralitas yang tidak naief, tetapi juga tidak berbau sinisme.
Jadi kalau begitu, bagaimana sebaiknya PBP diselenggarakan.agar melahirkan generasi generasi degan moralitas yang realistik tadi? Meminjam ungkapan Lawrence Pintak, seorang kolumnis Amerika, dapat dikatakan, bahwa untuk membuat generasi mendatang menerima nilai-nilai pembaharuan “kita harus melibatkan mereka dalam penyelesaian persoalan, dan tidak menyalahkan mereka karena tidak meneruskan jejak generasi lampau. Kita harus berkomunikasi dengan mereka, dan tidak mengkhotbahi mereka. (You must engage them, and not demonize / You must communicate, and not preach.)
Berdasarkan pinsip-prinsip ini, dapat dikatakan, bahwa PBP untuk keperluan regenerasi bangsa mengharuskan guru-guru untuk berbagi keresahan dan harapan (sharing concerns and hopes) dengan murid-murid, di samping berbagi ketahuan dan ke-tidak-tahuan (sharing knowledge and ignorance).
Masih ada dua lagi pertanyaan yang dibahas secara cukup ramai dalam peristiwa temu warga sekolah ini. Kedua pertanyaan ini ialah pertama: Siapa yang harus melaksankan PBP? Dan kedua: Haruskah ada mata ajar khusus untuk PBP?
Menurut pendapat saya, setiap guru mempunyai kewajiban untuk turut melaksanakan PBP ini. PBP dapat dilaksanakan melalui pelajaran apa saja: matematika, bahasa dan sastra, sejarah, pendidikan jasmani, dan sebagainya. Dalam setiap mata ajar terdapat seperangkat nilai yang pada umumhya jarang diungkapkan secara eksplisit. Dengan demikian nilai-nilai tadi tidak diketahui oleh semua siswa, tidak difahami oleh para siswa dan tidak damalkan oleh setiap siswa. Kebiasaan untuk tidak mengungkapkan secara eksplisit nilai-nilai yang terdapat dalam mata ajar ini timbul dari tradisi lama yang memisahkan pendidikan untuk memperoleh pengetahuan (education for knowledge) dari penpdidikan untuk mengenal dan memahami nilai-nilai (values education). Dari tradisi ini lalu timbul semboyan “knowledge is power”, dan kebiasaan untuk mengutamakan penguasaan pengetahuan faktual (factual knowledge) dalam ujian. Dari praksis pendidikan seperti ini muncullah
generasi-generasi dengan perkembangan yang tidak seimbang antara ketajaman
otak dan kepekaan perasaan. Ini juga merupakan sumber dari munculnya
pengelola-pengelola kehidupan bangsa dan negara yang menimbulkan situasi
serba ruwet sekarang ini.
Berdasarkan pandangan ini maka menurut saya tidak perlu ada mata ajar khusus
budi pekerti. Yang diperlukan ialah bahwa setiap guru melalui mata ajar yang diampunya menjelaskan secara eksplisit nilai-nilai yang terdapat dalam mata ajarnya. Kemudian petugas bimbingan dan penyuluhan membimbing para siswa mendiskusikan segenap jenis nilai yang telah disentuh oleh para guru. Melalui diskusi mereka dapat dituntun untuk memahami makna nilai-nilai tadi dalam kehidupan nyata. Melalui proses ini para siswa akan menyusun sendiri sistem nilai (value system) mereka, baik sistem nilai pribadi, maupun sistem
nilai kelompok. Perlu kita ingat, bahwa dalam setiap bangsa yang mampu meperbaharui diri sendiri, setiap generasi menyusun sendiri sistem nilai yang akan dianutnya selama suatu kurun waktu.
Saya kira PBP yang dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip ini akan berbeda secara radikal dari PBP yang diselenggarakan secara konvensional, mengikuti tradisi khotbah, nasihat, dan indoktrinasi. Dapatkah gagasan PBP untuk regenerasi bangsa ini benar-benar dilaksanakan? Bergantung kepada kuat-lemahnya tekad kita untuk memperbaharui diri kita, terutama dalam kehidupan politik dan kehidupan kultural.
Ketika saya masih di SD, saya bersekolah di suatu “Sekolah Pribumi Kelas
Dua” (Tweede Inlandsche School). Di sekolah ini pendidikan budi pekerti
(singkatan resminya PBP) disampaikan melalui cerita-cerita atau dongeng.
Setiap dongeng selalu ditutup dengan kara-kata “Liding dongeng, ……”Artinya: “Inti ceritera: …………” Di bagian ini lah moral ceritera dirumuskan. Dalam zaman Pendudukan Jepanag, ketika saya menjadi murid suatu Sekolah Guru, PBP diberikan dalam bentuk indoktrinasi. Dan dalam zaman reformasi ini, fungsi PBP diambil alih oleh pendidikan agama, dan dilaksanakan melalui khotbah atau nasihat. Bagaimana PBP ini sebaikya dilaksanakan dalam situasi serba-krisis yang sedang dihadapi bangsa sekarang
ini?
Inilah pertanyaan dasar yang terdapat dalam suatu pertemuan tentang PBP. Pertemuan ini dihadiri oleh sekitar 80 guru dari berbagai jenis sekolah, dan mereka datang dari berbagai pelosok di Indonesia. Pertemuan ini disebut Temu Warga Sekolah. Saya diminta hadir sebagai narasumber bersama-sama Bp. Daud Yusuf.
Pidato pengantar yang disampaikan oleh salah seorang anggota Panitya Penyelenggara menyarankan, agar pendidikan budi pekerti dipikirkan dalam rangka mengatasi krisis bangsa yang sedang kita alami sekarang ini. Diharapkan, agar pembicaraan dalam temu warga sekolah ini membahas cara-cara menyelenggarakan PBP yang pada suatu saat nanti akan melahirkan generas-generasi baru yang mampu mengelola negara dan bangsa ini dengan cara-cara yang lebih baik. Pendekatan ini saya sebut “Pendidikan Budi Pekerti dalam Konteks Regenerasi Bangsa.”
Dalam pandangan saya PBP untuk keperluan regenerasi bangsa perlu diselengga-rakan dengan cara-cara yang berbeda daripada cara-cara konvensional yang dipergunakan selama ini. Mengapa? Karena PBP konvensional bertujuan utama melahirkan individu-individu yang salih, bermoral, berbudi pekerti luhur, dan sebaginya. Sedangkan PBP untuk renegerasi bangsa bertujuan utama melahirkan generasi-generasi yang berwatak dan cakap. Dengan kata-kata lain, PBP konvensional mengacu kepada moralitas individual, sedangkan PBP untuk regenerasi bangsa mengacu kepada moralitas kolektif.
Perbedaan ini sangat esensial. Segenap kemelut bangsa yang kita alami sekarang ini dalam pandangan saya lahir dari lemahnya moralitas kolektif tadi dalam masyarakat kita. Menghadapi segenap ketidak-adilan yang terjadi dalam masyarakat, kebanyakan dari kita bersikap mengambil jarak: Saya terkena atau tidak? Untuk apa ribut-ribut, kalau suatu ketidak-adilan tidak menyentuh diri saya? Sikap ini lahir dari kuatnya tradisi moralitas individual tadi dan lemahnya moralitas kolektif dalam masyarakat kita. Antara kedua jenis moralitas ini tidak ada keseimbangan dan juga tidak ada
ketersambungan.
Sejalan dengan perbedaan di atas perlu dikatakan, bahwa PBP konvensional mengutamakan pembinaan kepribadian perorangan, dan tidak memperhatikan pembinaan kepribadian kelompok. Dan kepribadian bangsa adalah bentuk terakhir dari kepribadian kelompok dalam masyarakat kita. Berbagai dampak negatif dari globalisasi yang mucul dalam masyarakat kita sekarang ini lahir dari tidak adanya kepribadian bangsa dalam mengikuti kehidupan yang sudah terseret oleh arus globalisasi sekarang ini.
Perbedeaan kedua antara PBP konvensional dengan PBP untuk regenerasi bangsa terletak pada cari memaknai kata ‘moral’, ‘moralitas’, dan ‘pendidikan moral’. Dalam PBP konvensional ‘pendidikan moral’ terbatas pada kegiatan untuk membimbing para siswa mengenal norma-norma etika, dan tidak menyentuh masalah pangamalan nilai-nilai tadi. Dalam PBP untuk regenerasi bangsa
konsep ‘moralitas’ dan ‘pendidikan moral’ diperdalam, tidak hanya menganai pengenalan nilai-nilai, tetapi diteruskan sampai ke pemahaman, penghayatan,
dan pengamalan nilai-nilai. Ada perbedaan dalam asumsi antara kedua jenis PBP ini. Dalam PBP konvensional asumsi yang dipergunakan ialah, bahwa mengenal nilai-nilai secara otomatis akan mengantar anak ke pengamalan nilai-nilai. Dalam PBP untuk regenerasi bangsa asumsi yang dipergunakan ialah bahwa antara mengenal nilai-nilai dan mengamalkan nilai-nilai terletak suatu jarak mental yang cukup panjang, yang penuh dengan hambatan-hambatan. Mengatasi hambatan-hambatan mental ini hanya akan terjadi kalau ada bimbingan dari para pendidik.
Hanya PBP yang secara sadar dan sengaja berusaha membimbimg seluruh siswa menjalani proses mental yang panjang ini akan melahirkan generasi yang memiliki moralitas kolektif dan kepribadian kelompok. PBP yang hanya mengandalkan khotbah, nasihat, dan indoktrinasi tidak akan mampu melahirkan generasi yang memiliki moralitas kelompok, watak kelompok, dan watak bangsa.
Di samping itu PBP konvensional juga melupakan kenyataan, bahwa moralitas yang tidak disangga oleh realisme akan menghasilkan moralitas yang naif. Reinhold Niebuhr (1892-1971) memperingatkan, bahwa “Morality without realism is naivite or worse, and realism without morality is cynicism or worse.” Dan regenerasi bangsa hanya akan dapat dilaksanakan oleh generasi yang memiliki moralitas yang realistik ini. Moralitas yang tidak naief, tetapi juga tidak berbau sinisme.
Jadi kalau begitu, bagaimana sebaiknya PBP diselenggarakan.agar melahirkan generasi generasi degan moralitas yang realistik tadi? Meminjam ungkapan Lawrence Pintak, seorang kolumnis Amerika, dapat dikatakan, bahwa untuk membuat generasi mendatang menerima nilai-nilai pembaharuan “kita harus melibatkan mereka dalam penyelesaian persoalan, dan tidak menyalahkan mereka karena tidak meneruskan jejak generasi lampau. Kita harus berkomunikasi dengan mereka, dan tidak mengkhotbahi mereka. (You must engage them, and not demonize / You must communicate, and not preach.)
Berdasarkan pinsip-prinsip ini, dapat dikatakan, bahwa PBP untuk keperluan regenerasi bangsa mengharuskan guru-guru untuk berbagi keresahan dan harapan (sharing concerns and hopes) dengan murid-murid, di samping berbagi ketahuan dan ke-tidak-tahuan (sharing knowledge and ignorance).
Masih ada dua lagi pertanyaan yang dibahas secara cukup ramai dalam peristiwa temu warga sekolah ini. Kedua pertanyaan ini ialah pertama: Siapa yang harus melaksankan PBP? Dan kedua: Haruskah ada mata ajar khusus untuk PBP?
Menurut pendapat saya, setiap guru mempunyai kewajiban untuk turut melaksanakan PBP ini. PBP dapat dilaksanakan melalui pelajaran apa saja: matematika, bahasa dan sastra, sejarah, pendidikan jasmani, dan sebagainya. Dalam setiap mata ajar terdapat seperangkat nilai yang pada umumhya jarang diungkapkan secara eksplisit. Dengan demikian nilai-nilai tadi tidak diketahui oleh semua siswa, tidak difahami oleh para siswa dan tidak damalkan oleh setiap siswa. Kebiasaan untuk tidak mengungkapkan secara eksplisit nilai-nilai yang terdapat dalam mata ajar ini timbul dari tradisi lama yang memisahkan pendidikan untuk memperoleh pengetahuan (education for knowledge) dari penpdidikan untuk mengenal dan memahami nilai-nilai (values education). Dari tradisi ini lalu timbul semboyan “knowledge is power”, dan kebiasaan untuk mengutamakan penguasaan pengetahuan faktual (factual knowledge) dalam ujian. Dari praksis pendidikan seperti ini muncullah
generasi-generasi dengan perkembangan yang tidak seimbang antara ketajaman
otak dan kepekaan perasaan. Ini juga merupakan sumber dari munculnya
pengelola-pengelola kehidupan bangsa dan negara yang menimbulkan situasi
serba ruwet sekarang ini.
Berdasarkan pandangan ini maka menurut saya tidak perlu ada mata ajar khusus
budi pekerti. Yang diperlukan ialah bahwa setiap guru melalui mata ajar yang diampunya menjelaskan secara eksplisit nilai-nilai yang terdapat dalam mata ajarnya. Kemudian petugas bimbingan dan penyuluhan membimbing para siswa mendiskusikan segenap jenis nilai yang telah disentuh oleh para guru. Melalui diskusi mereka dapat dituntun untuk memahami makna nilai-nilai tadi dalam kehidupan nyata. Melalui proses ini para siswa akan menyusun sendiri sistem nilai (value system) mereka, baik sistem nilai pribadi, maupun sistem
nilai kelompok. Perlu kita ingat, bahwa dalam setiap bangsa yang mampu meperbaharui diri sendiri, setiap generasi menyusun sendiri sistem nilai yang akan dianutnya selama suatu kurun waktu.
Saya kira PBP yang dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip ini akan berbeda secara radikal dari PBP yang diselenggarakan secara konvensional, mengikuti tradisi khotbah, nasihat, dan indoktrinasi. Dapatkah gagasan PBP untuk regenerasi bangsa ini benar-benar dilaksanakan? Bergantung kepada kuat-lemahnya tekad kita untuk memperbaharui diri kita, terutama dalam kehidupan politik dan kehidupan kultural.